Rabu, 19 Mei 2010

Manfaat Pajak bagi Masyarakat

Pajak, sebagai salah satu sumber penerimaan terbesar negara, telah banyak memberi manfaat. Beberapa pengeluaran pemerintah menggunakan dana pajak di antaranya belanja pegawai dan pembiayaan pembangunan sarana umum seperti jalan, jembatan, rumah sakit, hingga kantor polisi.

Pendidikan juga menjadi sektor yang mendapatkan alokasi pajak. Penyaluran di antaranya melalui program bantuan operasional sekolah (BOS), wajib belajar sembilan tahun gratis, penyediaan alat tulis, buku pelajaran, renovasi sekolah, serta beasiswa. Dengan langkah ini diharapkan kualitas pendidikan lebih meningkat. Ini juga sebagai cara agar masyarakat ekonomi lemah memperoleh kesempatan bersekolah.

"Manfaatnya yang dapat dirasakan sampai ke lapisan masyarakat terkecil khususnya pendidikan untuk di sekolah-sekolah yaitu dengan adanya pendidikan gratis dimana anak-anak ini sudah menikmati," kata Syahdinar, Kepala Sekolah SDN BENDUNGAN HILIR 01 Jakarta.

Masyarakat pun berharap upaya Ditjen Pajak menggali potensi perpajakan di Indonesia terus berkesinambungan agar masyarakat hingga ke pelosok Negeri dapat merasakan manfaatnya. Karena cara ini sekaligus meningkatkan rasa percaya para wajib pajak terhadap kinerja dan manfaat atas uang yang telah mereka keluarkan untuk negara selama ini.

Namun masih sedikit sekali manfaat pajak yang dapat dirasakan oleh orang yang dibawah garis kemiskinan. mereka tidak pernah mengerti dan tidak tahu akan arti serta peranan pajak serta mereka pun tidak dapat merasakan manfaat yang didapt dari pajak tersebut. oleh karena itu pajak hendaknya dibagi secara proporsional agar semua golongan di negeri ini dapat merasakan manfaat dari pajak tersebut.

referensi : http://berita.liputan6.com/lainlain/200806/160834/class=%27vidico%27

Legenda Daisetsuzan


Oleh Gretel Ehrlich
Foto oleh Michael Yamashita

Dua gunung api besar tersemat di taman nasional yang ada di tengah-tengah pulau paling utara Jepang, Hokkaido.
Api dan air berbenturan di Daisetsuzan. Dua gunung api besar tersemat di taman nasional yang ada di tengah-tengah pulau paling utara Jepang, Hokkaido, tersebut. Puncak-puncaknya yang berasap melandai ke lereng yang berhutan, berbantalkan salju, dan terkikis sungai—200.000 hektar dengan warnanya berganti-ganti dari hijau, jingga, merah, dan putih, sesuai musim. Kepulauan Jepang menyeruak dari dalam laut akibat kekejaman seismik. Lempeng-lempeng tektonik menggelincir dan saling menimpa, lapisan batu cadas meleleh dan terkumpul di bawah tanah, gunung api meletus. Asahi Dake, gunung tertinggi di Hokkaido yang tidur selama berabad-abad menjulang di utara.

Tokachi Dake di selatan, terakhir kali meletus pada 2004. Dalam iklim Hokkaido yang dingin dan basah, gunung-gunung api yang dibangun oleh api internal Bumi tertutupi salju dan salju berubah menjadi aliran air yang deras, hutan, lumut, dan bunga. Daisetsuzan berarti “gunung salju yang besar.” Tetumbuhan yang lebat menyebabkan sebagian besar Daisetsuzan tak bisa dimasuki, tetap lestari dengan sendirinya, tidak terganggu, kecuali oleh adanya beberapa jalan setapak. Di negara kepulauan yang padat ini—salah satu negara yang paling padat industri dan paling padat penduduknya di dunia—taman tersebut menyediakan ruang terbuka yang langka, puncak gunung dan hutannya dikelilingi lahan-lahan pertanian yang asri. Taman itu menjadi tempat persinggahan rusa, burung, kelinci, dan beruang, serta pepohonan, semak belukar, dan aneka bunga. Wisatawan Jepang yang menyandang ransel terpesona oleh kemegahan alam tersebut.

Sesekali di musim panas dan gugur, Michiko Aoki, putri seorang pendeta Buddha, mendaki selama delapan jam dan melampaui Asahi Dake, menyeberangi punggung bukit yang berliku, dan turun ke lembah yang jarang ditapaki manusia untuk menemui kekasihnya yang membantu pemantauan beruang cokelat Hokkaido penghuni taman. Pada satu dini hari yang hangat di musim gugur, aku menyertainya. Di saat kami mendekati Asahi Dake, nafas yang bergaung dari lubang-lubang di gunung api itu mengingatkan kami bahwa ada gunung di depan, tetapi karena tersaput awan, Asahi Dake luput dari penglihatan kami. Di permukaan danau Sugatami-ike yang sebening cermin, bercak salju di kejauhan berbaur dengan uap air; alur-alur uap air mengikat Asahi Dake dengan kamuy, ruh suku Ainu yang hidup di segala penjuru.

Di masa ketika gletser sepenuhnya menutupi wilayah tersebut 18.000 tahun silam, Hokkaido dihubungkan dengan Asia oleh jembatan-jembatan darat, bukan dengan Jepang, dan para leluhur masyarakat suku Ainu menyeberanginya untuk mencapai Hokkaido. Segelintir suku asli Ainu masih tersisa, meskipun leluhur mereka telah diusir dan diasimilasi oleh bangsa Jepang. Bagaimanapun, mustahil menikmati sungai dan pegunungan ini tanpa memikirkan cara pandang suku Ainu yang menyakralkan tempat tersebut.

Orang Ainu membagi tanah mereka menjadi lahan-lahan cakupan desa atau iwor, tempat mereka memancing ikan salem, berburu beruang, dan mengumpulkan kayu dan buah buni. Makhluk hidup yang menjaga mereka adalah para dewa yang sedang menyamar, ruh yang mengunjungi dunia fana. Kamuy juga muncul sebagai benda mati: pisau berburu dan rumah bambu. Untuk mengembalikan kamuy ke dunia ruh, suku Ainu menyelenggarakan beberapa ritual dengan menyediakan persembahan berupa makanan dan doa. Upacara utama mereka berupa penghormatan terhadap beruang—sang penyedia makanan, bulu, dan tulang untuk perkakas. Mereka menyebut Asahi Dake sebagai Gunung Nutap-kamui-shir yang berarti “gunung dewa yang mengandung wilayah bagian dalam dari belokan sungai.”

referensi : http://nationalgeographic.co.id/feature/68/legenda-daisetsuzan

Kisah Lima Danau


Oleh Peter E. Hehanussa
Foto oleh Tantyo Bangun


Saya tertegun saat mendengar kabar terbaru: lima danau Malili telah terkepung pembalakan liar.
Saya hanya dapat tertegun saat mendengar kabar terbaru: lima danau Malili telah terkepung kegiatan pembalakan liar. Jalanan tak resmi yang dibuat para pembalak bagaikan urat nadi yang karut-marut, rona yang telah mengacak-acak tutupan yang menghijau pada peta radar terbaru. Kegiatan yang merusak ekosistem penyokong keberadaan kehidupan danau, termasuk tata air di dalamnya, itu semakin mengganas, tanpa memedulikan masa depan.
Di akhir Agustus yang diselimuti awan kumulus, saya dan beberapa rekan akhirnya dapat mengudara. Menumpang pesawat penebar bibit hujan milik PT Inco, perusahaan yang melakukan kegiatan penambangan nikel, di sekitar danau Malili, saya dapat menyaksikan lansekap yang unik. Kombinasi lima danau dengan dikelilingi kawasan berbukit-bukit terjal yang puncaknya mencapai 1.200 meter telah memikat hati saya. Dua lempeng besar, Pasifik dan Asia, yang bergerak horisontal, saling memberikan gaya dorong dan bertemu di sekitar Danau Matano, telah membuat lukisan yang indah. Bukit dengan tegakan menghijau harus diselingi peradaban tepi danau, seperti Larona, Nuha, Matano, dan Sorowako. Awan yang menyelimutinya memang sedikit membuat hati kesal, pandangan menjadi terhalang.
Selama penerbangan itu, kami sibuk melihat ke bagian bawah. Tak ada percakapan. Di kursi yang berada depan saya, Gadis S. Haryani, pimpinan Pusat Penelitian Limnologi – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia yang pernah melakukan penelitian di Danau Matano juga serius mengamati. Kami tercengang ketika pesawat melintasi wilayah datar yang cukup luas, sebagian terbuka, tanpa lindungan tegakan kayu. Bagian yang terbuka itu telah diisi dengan permukiman yang tersusun rapi. Kawasan berada di sisi timur Danau Mahalona itu telah disiapkan sebagai lahan dan permukiman transmigrasi. Kawasan ini menambah keping-keping yang bolong di antara hutan hujan yang ada.

Keterkejutan saya di tahun ini tentu saja berbeda dengan apa yang saya rasakan pada awal 1970-an. Ketika itu, saya menelusuri Sorowako melalui darat bersama dua orang rekan peneliti, yang salah seorang di antaranya berasal dari Amerika Serikat. Kami yang memakai topi pet, pakaian lapangan, sepatu bot, dan tangan menggenggam palu geologi, tertegun melihat singkapan batuan di tebing terjal yang belum selesai dipapas dengan alat berat. Kami memandanginya di tepi jalan raya yang tengah dibangun antara Desa Soroako dan Kota Malili. “Sungguh tak dapat dipercaya!” kami saling berpandangan. Selama di bangku kuliah kami tidak pernah belajar bahwa batuan ultra-basa yang terbentuk di dasar dan tengah laut-dalam dapat berada bersama bahkan campur-aduk dengan batugamping yang terbentuk di laut-dangkal. Saat kami mengamati fenomena tersebut, ilmu geologi baru memasuki periode transformasi fundamental dari konsep geosinklin menjadi tektonik lempeng.
Pada singkapan batuan di depan mata, kami melihat batu gamping yang berwarna putih susu membentuk lensa yang mirip ikan dan diselimuti batuan berwarna gelap, batuan ultra basa. Batuan ultra basa itu tergerus retak-retak, ada yang kecil seukuran bantal kepala tapi ada juga yang besar berukuran rumah T-36. Semua bidang batas batuan ultra basa dan batugamping membentuk permukaan yang licin mengkilat, menandakan telah terjadi penggerusan yang hebat yang tentu digerakkan oleh energi yang sangat-sangat kuat. Di depan mata terekam bagian yang sangat penting dari sejarah pembentukan Bumi, zona tempat pertumbukan antar-lempeng benua, sebuah bukti up-duction.
Peristiwa ini berlangsung hampir bersamaan dengan saat di mana ilmu pengetahuan ikut berperan mendorong perubahan perilaku penduduk dunia yang saat itu makin haus bahkan tanpa kendali mengkonsumsi energi dan mineral bahan baku. Di era awal tahun 1960-an mereka yang percaya pada konsep pesimistik mewahyukan bahwa sebentar lagi dunia akan kiamat, sebab ia telah dekat kepada batas daya dukungnya untuk menyediakan energi dan mineral kebutuhan manusia yang terus meningkat. Namun ada kelompok lain yang mengatakan bahwa daur ulang dan perubahan dalam peri laku manusia mengeksploitasi sumber daya alam dapat menunda terjadinya ‘kiamat’ itu. Batuan campur aduk dengan komposisi aneh di depan mata, inilah salah satu saksi bisu betapa kemanusiaan yang beradab dan humanisitik serta teknologi yang tepat dapat ikut berperan merubah jalannya kehidupan di bumi. Penelitian lapangan yang dilakukan sejak awal tahun 1970-an oleh tim geologi menemukan indikasi upduction pada salah satu singkapan ultrabasik terbesar di dunia, sebuah fenomena yang terbalik dari apa yang ditemui di deretan Pulau Simuelue-Nias-Siberut-Enggano di barat Sumatera dimana terdapat subduction pada pertemuan diantara dua lempeng benua.
***
Dua dekade lalu Soroako hanya sebuah desa kecil nan sepi di tepi Danau Matano. Akan tetapi tempat yang kini namanya telah dikembalikan ke ejaan aslinya menjadi Sorowako telah bertransformasi menjadi kota modern. Sorowako menjadi penopang perekonomian Kabupaten Luwu Timur. Populasi yang mencapai 9.000 jiwa memiliki profesi dan latar belakang berbeda serta saling berbaur. Di sini terjadi melange bukan saja dari asosiasi batuan geologi tetapi juga tradisi dan kultur berbagai penjuru Indonesia dan dunia.
Perubahan itu digerakkan oleh kegiatan penambangan nikel oleh PT Inco yang memulai kegiatan eksplorasi intensif di tahun 1968. Pada masa itu saya bersama-sama Benny Wahyu, rekan saya sejak mahasiswa dan pernah bekerja sebagai geolog senior perusahaan tambang itu mendiskusikan proses produksi komersial nikel yang dimulai pada tahun 1973. Biji nikel ditambang di gunung sebelah selatan Danau Matano, pabrik pemurnian nikel dibangun di timur Sorowako, lalu biji nikel matte hasil konsentrat diangkut dengan truk raksasa ke pelabuhan Malili di sebelah selatan untuk dikapalkan dan diproses lebih lanjut di Jepang.
Biji nikel laterit yaitu konsentrat nikel yang terakumulasi di sebuah lapisan dekat permukaan tanah kini sedang merubah nasib banyak orang di seluruh dunia. Unsur nikel memang diperlukan dalam melengkapi kemajuan teknologi yang melanda dunia, ia adalah bahan campuran ke logam untuk melawan korosi atau karat dalam berbagai peralatan modern dalam kehidupan kita sehari-hari. Bijih nikel laterit adalah lapisan yang terbentuk di dekat permukaan tanah, sisa dari proses pelapukan dan pelarutan batuan ultrabasa selama kurun waktu ribuan tahun. Oleh curah hujan yang tinggi dan iklim yang tepat pada batuan ultrabasa yang retak-retak, maka kebanyakan unsur lain di dalam tanah akan larut dan terangkut pergi bersama aliran air tanah ke lokasi yang lebih rendah. Maka tersisa unsur nikel dan besi yang sukar larut, tertumpuk menjadi lapisan nikel laterit yang berwarna merah-biru kecoklatan yang sukar larut.
Proses alam yang ribuan bahkan ratusan ribu tahun ini kini telah menjadikan nikel sebagai bahan tambang di sekitar Sorowako, ia aktif digali dan diambil dan akan habis dalam waktu seabad. Kota Sorowako yang telah lahir dari nikel, oleh karena itu mesti tetap dan terus eksis juga oleh kekuatan nikel. Nikel akan habis namun kelahiran dan kelanjutan berbagai kegiatan baru sejak kini mesti ditata secara arif sehingga kota ini tidak akan menjadi kota mati saat nikel habis tertambang.

referensi : http://nationalgeographic.co.id/feature/61/kisah-lima-danau

Tanah Haiti Kurus Kerontang


Oleh Joel K Bourne Jr.
Foto oleh Ariana Cubillos


Sebagai pengganti makanan-makanan impor yang tidak lagi terjangkau, sejumlah warga Haiti yang putus asa beralih ke kue yang terbuat dari lempung, garam, dan lemak––makanan tambahan tradisional untuk perempuan hamil.
“Te a fatige,” ujar 70 persen petani Haiti dalam sebuah survei baru-baru ini saat ditanyai tentang permasalahan utama pertanian yang mereka hadapi. “Bumi sudah lelah.”
Hal itu tidak mengherankan. Hampir selalu sejak 1492, tahun ketika Columbus menjejakkan kaki untuk pertama kalinya di Pulau Hispaniola yang tertutup hutan luas, negeri yang bergunung-bunung ini telah mengalami pengrusakan tanah pucuk dan pertumpahan darah – pertama oleh Spanyol yang menanam tebu, kemudian oleh Prancis yang menebangi hutan guna membuka lahan untuk kopi, nila, dan tembakau yang menguntungkan. Bahkan setelah budak-budak Haiti memberontak pada 1804 dan menyingkirkan jerat kolonialisme, Prancis memungut 93 juta frank sebagai uang pengganti dari negara bekas jajahannya tersebut––sebagian besar dalam bentuk kayu.
Segera setelah kemerdekaan, para spekulator dan pemilik perkebunan kelas atas memaksa kelas petani keluar dari sejumlah kecil lembah subur untuk pindah ke wilayah pedalaman yang terjal dan berhutan, tempat lahan jagung, buncis, dan singkong mereka yang menyusut berpadu dengan industri arang kayu yang berkembang sehingga memperparah penggundulan hutan dan erosi. Saat ini kurang dari 4 persen hutan Haiti yang tersisa dan di banyak tempat, tanah telah terkikis hingga ke lapisan tanah keras. Dari 1991 sampai 2002, produksi pangan per kapita secara nyata turun 30 persen. Jadi apa yang Anda lakukan jika hidup di negara termiskin di belahan barat dunia dan harga makanan pokok– “Beras Miami” dari AS-- meningkat dua kali lipat? Umumnya, Anda hanya bisa kelaparan dan menyaksikan anak-anak Anda dalam keadaan yang sama.

Namun, sebenarnya yang dipertaruhkan lebih dari sekedar kemampuan tanah Haiti untuk mengasupi sebuah negara yang kelaparan. Negara-negara pengimpor pangan di seluruh dunia juga menderita seiring dengan harga makanan pokok yang melonjak tajam, menimbulkan pertanyaan-pertanyaan kritis menyangkut tujuan dari berbagai program pendampingan pertanian yang selama beberapa dekade terakhir ini lebih berfokus pada menurunkan pajak dan menanam tanaman budidaya untuk ekspor daripada membantu negara-negara miskin untuk memenuhi kebutuhan pangannya sendiri.

Program tersebut sudah tepat, kata para pejabat. “Swasembada pangan bukanlah tujuan yang harus ada,” kata Beth Cysper, wakil direktur dari misi US Agency for International Development di Haiti. “Saat ini ada pangan di Haiti. Hanya harganya saja yang tidak terjangkau. Jika secara ekonomi masuk akal bagi warga Haiti untuk menjual mangga dan mengimpor beras, itulah yang harus mereka lakukan.”

Masalahnya, kata ahli ekologi dan aktivis Sasha Kramer, adalah bahwa saat-saat ini para petani Haiti tidak mampu menjual mangga dalam jumlah yang memadai untuk dapat mengimpor beras. Untuk mendongkrak produksi pangan, Kramer dan para koleganya mendirikan Sustainable Organic Integrated Livelihoods (SOIL), sebuah kelompok nirlaba yang membangun jamban kompos—jamban yang buangan kotoran manusianya diproses sebagai kompos—di komunitas-komunitas pedesaan untuk kembali memberikan ladang zat-zat organik dan kesuburan yang sangat dibutuhkannya. “Dengan krisis kelaparan sekarang ini, sangatlah jelas jika masyarakat Haiti memiliki lebih banyak produksi lokal, mereka tidak akan terlalu rentan terhadap harga-harga makanan impor,” kata Kramer, asisten profesor di University of Miami.

Hingga keadaan tersebut tercapai, Haiti tetap menjadi sebuah pelajaran pedih dari apa yang telah dikatakan para ilmuwan pertanahan selama bertahun-tahun: saat kesuburan tanah sebuah negara lenyap, lenyap pulalah negara tersebut.

referensi : http://nationalgeographic.co.id/feature/69/tanah-haiti-kurus-kerontang

Bumi Kita yang Subur



Oleh Charles C. Mann
Foto oleh Jim Richardson


Sebuah keajaiban elektromekanika yang demikian canggih: Traktor itu dapat berjalan sendiri, dengan navigasi satelit. Aku tinggal duduk santai di tempat yang tinggi dan ber-AC, sementara di bawah kakiku roda besar menggelinding di atas tanah.
Pada suatu hari yang hangat di Bulan September, petani dari berbagai penjuru negara bagian berkumpul di sekitar mesin-mesin raksasa. Mesin panen jenis gabungan (pemotong dan perontok), mesin bandela, mesin ripper, mesin penyiang, mesin garu piring, dan traktor dari berbagai jenis—semuanya ada di pameran tahunan Wisconsin Farm Technology Days. Namun, bintang kali ini adalah mesin-mesin panen raksasa, yang menjulang di tengah keramaian. Namanya mirip mobil sport—Claas Jaguar 970, Krone BiG X 1000—dengan cat secerah kembang api. Satu mesin ini beratnya 15 ton dan rodanya lebih tinggi daripada orang dewasa. Ketika saya mengunjungi Wisconsin Farm Technology Days tahun lalu, perusahaan John Deere mengizinkan pengunjung mencoba traktor 8530-nya, sebuah keajaiban elektromekanika yang demikian canggih sehingga saya tidak tahu cara mengoperasikannya. Tapi itu bukan masalah: Traktor itu dapat berjalan sendiri, dengan navigasi satelit. Aku tinggal duduk santai di tempat yang tinggi dan ber-AC, sementara di bawah kakiku roda besar menggelinding di atas tanah.
Para petani menyeringai saat menyaksikan mesin itu menderu di ladang jagung. Namun, pada jangka panjang, mereka mungkin menghancurkan mata pencariannya. Bunga tanah di daerah Midwest Amerika, salah satu lahan pertanian terbaik di dunia, terdiri atas gumpalan heterogen yang di sela-selanya dipenuhi kantong-kantong udara. Mesin yang besar dan berat seperti mesin panen ini memadatkan tanah basah menjadi lempeng seragam yang nyaris tak bisa ditembus—sebuah proses yang disebut pemadatan. Akar tak bisa menembus tanah padat; air tak bisa meresap ke dalam bumi, sehingga mengalir, mengakibatkan pengikisan. Dan karena pemadatan dapat terjadi jauh di dalam tanah, perlu waktu berpuluh-puluh tahun agar dapat pulih seperti sediakala. Karena menyadari hal ini, perusahaan pembuat mesin pertanian menggunakan ban-ban raksasa di mesin mereka untuk menyebarkan impak. Dan petani menggunakan navigasi satelit untuk membatasi pergerakan kendaraan itu pada jalur tertentu, agar tanah yang lain tak terganggu. Namun, pemadatan jenis ini tetap merupakan masalah serius—setidaknya di negara-negara yang petaninya mampu membeli mesin panen seharga 3,6 miliar rupiah.

Malangnya, pemadatan hanyalah satu keping yang relatif kecil dalam mosaik masalah yang saling terkait yang memengaruhi tanah di seluruh penjuru bumi. Di negara-negara berkembang, tanah yang jauh lebih subur hilang akibat pengikisan dan penggurunan akibat perbuatan manusia, dan secara langsung memengaruhi kehidupan 250 juta jiwa manusia. Dalam kajian pertama—dan tetap yang paling lengkap—tentang penyalahgunaan tanah global, para ilmuwan di International Soil Reference and Information Centre (ISRIC) di Belanda memperkirakan pada 1991 bahwa umat manusia telah mendegradasi hampir 20 juta kilometer persegi tanah kita. Dengan kata lain, spesies kita dengan cepat merusak kawasan seluas gabungan Amerika Serikat dan Kanada.

Defisit pangan yang terjadi tahun ini, yang sebagian disebabkan oleh menurunnya kualitas dan kuantitas tanah dunia (lihat “Miskin Papa", halaman 108), telah menyebabkan kerusuhan di Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Pada 2030, ketika bayi-bayi saat ini sudah memiliki bayi, akan ada 8,3 miliar manusia yang menapaki muka bumi; untuk mencukupi pangannya, Organisasi Pangan dan Pertanian PBB memperkirakan bahwa petani harus menanam biji-bijian hampir 30 persen lebih banyak daripada sekarang. Para pengamat keserampangan manusia akan melihat bahwa sementara manusia meningkatkan permintaannya terhadap tanah, kita malah merusaknya lebih cepat daripada sebelumnya. “Dalam jangka panjang, kita akan kehabisan tanah,” ujar David R. Montgomery, seorang geolog di University of Washington di Seattle.

Sayangnya, degradasi tanah adalah topik yang membosankan bagi banyak orang. Padahal, konsekuensinya—dan juga kesempatan—justru sangat besar, ujar Rattan Lal, ilmuwan tanah terkemuka di Ohio State University. Peneliti dan petani biasa di seluruh dunia menemukan bahwa tanah yang rusak pun bisa dipulihkan. Hasilnya, ujar Tal, adalah kesempatan bukan hanya untuk memberantas kelaparan namun juga memerangi masalah seperti kesulitan air dan bahkan pemanasan global. Bahkan, beberapa peneliti meyakini bahwa pemanasan global dapat dihambat secara signifikan dengan menggunakan cadangan karbon secara besar-besaran untuk merekayasa ulang lahan kritis dunia. “Stabilitas politik, kualitas lingkungan, kelaparan, dan kemiskinan memiliki akar yang sama,” ujar Lal. “Dalam jangka panjang, solusi untuk setiap masalah itu adalah memulihkan sumber daya yang paling dasar, tanah.”

referensi : http://nationalgeographic.co.id/feature/70/bumi-kita-yang-subur

Hidup Mati Bangsa di Kemudian Hari


Oleh Zen Rahmat Sugito
Foto oleh Feri Latief


Organisasi pimpinan Diouf sudah memperingatkan seriusnya krisis pangan dunia.
Lima orang tewas dalam unjuk rasa memprotes kenaikan harga-harga makanan pokok di Port Au Prince, Haiti, pada April 2008. Selama berunjukrasa, di hadapan pasukan penjaga perdamaian PBB, beberapa demonstran bahkan sampai memakan rumput. Inilah potret sekumpulan orang kelaparan yang tak bisa berbuat apa-apa. Bagi orang kelaparan seperti mereka, pernah Mahatma Gandhi berkata, makanan adalah Tuhan.
“Tak ada yang siap untuk mati kelaparan, alamiah jika mereka bereaksi,” komentar Jacques Diouf, Direktur Jenderal FAO. Organisasi pimpinan Diouf sudah memperingatkan seriusnya krisis pangan dunia. Hingga awal 2008, persentase kenaikan harga bahan pokok secara gobal mencapai angka 75 persen. Harga jagung diperkirakan mencapai angka tertinggi dalam 11 tahun, harga kedelai mencapai yang tertinggi dalam 35 tahun, bahkan harga gandum akan menjadi yang tertinggi dalam sejarah. Dibanding tahun 2000, seluruh harga pangan meningkat hingga 75 persen.

Di Indonesia, pada 27 April 1952 Presiden Soekarno sudah menyebut pangan sebagai “soal hidup mati bangsa kita di kemudian hari”. Di akhir pidatonya, ia bilang: “Politik bebas aktif, prijstop, masyarakat adil dan makmur, men sana in corporesano; semua omong kosong selama kita kekurangan bahan makanan.”

Sebelumnya, pada 1948, Menteri Persediaan Makanan Rakyat IJ Kasimo mencanangkan swasembada pangan melalui rencana yang dikenal sebagai “Kasimo Plan”. Saat menjadi Menteri Perekonomian pada Kabinet Burhanuddian Harahap (1955-1956), ia canangkan lagi swasembada pangan melalui apa yang disebut “Rencana Kemakmuran Kasimo”. Semuanya tak berhasil.

Soeharto sedikit lebih baik. Pencapaian terbaiknya adalah swasembada pangan pada 1984 yang membuatnya diminta memberi pidato kehormatan dalam sidang FAO di Roma setahun kemudian. Soeharto bahkan menyerahkan sumbangan 100 ribu ton beras kepada Ethiopia, jauh lebih banyak dibanding izin impor beras yang dikeluarkan Departemen Perdagangan pada November 2005 sebanyak 70.700 ton beras.

Kunci keberhasilan swasembada pangan pada 1984 terletak pada pilihan menggelar “revolusi hijau” yang bertopang pada intensifikasi lahan-lahan pertanian untuk ditanami dengan bibit padi hibrida yang bisa dipanen sampai tiga kali setahun. Tak heran jika produksi padi melonjak secara dramatis dari hanya 18.693.649 ton pada 1970 menjadi 38.136.446 ton pada 1984.
Akan tetapi, akibatnya petani tergantung pada benih dan pupuk yang harus dibeli dengan harga tak murah. Pupuk dan pestisida juga menurunkan kualitas lingkungan yang berujung pada punahnya sejumlah spesies ular dan burung sebagai bagian ekosistem sawah yang berguna untuk memerangi tikus dan ulat. Sebenarnya ini sudah diperingatkan jauh-jauh hari, termasuk oleh penulis Rachel Carson yang mengisahkan lenyapnya kicauan burung-burung pada musim semi dalam buku The Silent Spring.

Kesalahan lainnya menyangkut pemahaman “swasembada pangan” melulu sebagai “swasembada beras”. Secara sistematis, padi menjadi anak emas Orde Baru. Segala bantuan dan penyuluhan digelontorkan bagi para petani padi, itu pun lebih banyak diberikan kepada petani yang menggunakan jenis padi hibrida, bukan jenis lokal. Akhirnya ini mengubah pola pangan masyarakat yang awalnya beragam. Jumlah masyarakat yang mengkonsumsi makanan pokok non-beras merosot drastis. Padahal, produksi makanan non-beras stabil. Kenaikan produksi singkong non-beras itu kurang berarti karena jumlah yang memakan beras sebagai makanan pokok naik dramatis (lihat infografik).

Tak heran jika terjadi kelaparan di Yahukimo, Papua, pada 2005. Ini disebabkan, salah satunya, karena monokultur beras saat masyarakat di sana secara tradisi merupakan penghasil dan pemakan ubi jalar. Pada 1997, Papua juga dilanda kelaparan yang menewaskan ratusan orang.
Monokultur beras juga menjadi bumerang bagi pemerintah yang harus menyediakan stok beras secara memadai dengan harga terjangkau, terdistribusi secara baik ke semua daerah, tak peduli paceklik atau tidak, gagal panen atau tidak. Jika harga beras naik, pemerintah mudah diserang oposisi, tapi jika harga gabah rendah atau terpaksa mengimpor pemerintah mesti siap didakwa tak memihak petani.

Belakangan, kesadaran akan pentingnya diversifikasi pangan mulai membesar. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono secara seremonial memanen ubi jalar pada Juli 2006 di Yahukimo, daerah yang belakangan menjadi ikon bencana kelaparan. Pemerintah juga punya motto yang bagus dalam mengkampanyekan diversifikasi pangan yaitu “beragam, bergizi dan seimbang”.
Itu di tingkat konsumsi, belum produksi. Konsepsi “ketahanan pangan” selama ini dianggap kurang memadai. UU No. 7/1996 tentang Pangan mendefinisikan ketahanan pangan sebagai “terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau”. Dalam rumusan itu, tidak menjadi soal siapa yang memproduksi, dari mana pangan berasal, dan bagaimana pangan disediakan. Impor tidak menjadi masalah jika dana yang dimiliki pemerintah memungkinkan.

referensi : http://nationalgeographic.co.id/feature/52/hidup-mati-bangsa-di-kemudian-

Saat penentuan Kalimantan


Oleh Mel White
Foto oleh Mattias Klum

Rimba raya tengah menghilang dalam asap dan serbuk gergaji, tetapi masih ada harapan bagi keanekaragaman hayati Kalimantan yang melegenda itu—jika demam kelapa sawit dapat diredakan.
Hari itu bermula beberapa jam sebelum fajar menyingsing dengan riuh rendah bunyi ungka, jam weker khas hutan hujan. Kekasih dan seteru saling merayu dan mengancam dari puncak pepohonan dalam bahasa monyet yang kepepet, bahasa yang hanya dapat saya tebak-tebak, sebagai kerabatnya yang hidup di atas tanah.
Dari kemah saya, jalan di tepi anak sungai membentang ke dalam hutan, melalui pepohonan yang batang besarnya menjulang 30 meter hingga dahan yang terendah. Saat sinar surya samar-samar menembus tajuk hijau yang rimbun, primata yang lain, seekor monyet ekor panjang, berjalan di tanah di sepanjang aliran sungai, mencari ikan atau katak untuk sarapan. Entah berhasil atau tidak, raut mukanya yang selalu kesal tak pernah berubah. Begitu monyet itu menghilang ke hulu, sepasang cerpelai ekor pendek berlari turun ke tepi sungai, sepertinya lebih ingin bersenang-senang daripada mencari makanan.

Di suatu daerah terbuka, sepasang rangkong badak terbang dengan sayap menderu ke pohon yang berbuah dan mulai makan. Burung ini hampir sebesar kalkun, warnanya sebagian besar hitam, serta memiliki tanduk besar berwarna merah dan kuning di atas paruhnya yang berkilat terkena sinar mentari, seperti pernis mengilap. Kedua burung ini lebih cerah daripada semua hal lain di dalam rimba, sampai satu sosok sebesar telapak tangan terbang ke sana kemari setinggi pinggang, warnanya hitam beludru pekat, tetapi juga ada merah tua dan hijau elektrik, hijau neon mencolok, warna yang sama berlagaknya dengan nama makhluk ini: kupu-kupu raja Brooke. Dengan lebar hampir 18 sentimeter, satwa ini adalah salah satu kupu-kupu terbesar di dunia. Jika rangkong badak tidak memukau Anda—jika kupu-kupu raja Brooke juga tidak—mintalah seseorang memegang pergelangan dan memeriksa nadi Anda.

Kemudian saya menumpang perahu kecil menghiliri sungai lebar yang bernama Kinabatangan, lalu masuk ke arah hulu anak sungai yang sesempit gang. Sepasukan bekantan memanjat di cabang-cabang pohon di atas kepala kami, tempat primata-primata itu melewatkan malam di atas kayu-kayu tinggi di tepian sungai. Si jantan berperut buncit, dengan hidung kebesaran yang menggantung di wajahnya seperti buah matang, tampak demikian jelek sehingga menimbulkan rasa sayang, seperti pada nenek-nenek yang cerewet. Sebagian besar betina berhidung runcing dalam kelompoknya menggendong bayi di dadanya. Beberapa lutung hitam mengawasi kami dari atas, sementara seekor babi hutan berdiri tak jauh di dalam hutan mengawasi kami lewat. Saat perahu hanyut di kolong dahan yang melintasi sungai, seekor biawak sepanjang dua meter masuk ke air.

Seekor gajah kalimantan masuk ke sungai dan berenang di depan perahu, mengembuskan napas seperti seekor paus. Ukuran gajah ini kecil jika dibandingkan dengan gajah lain, tetapi saat satwa yang gelap dan berkilat ini muncul di seberang sungai, gajah kalimantan tersebut terlihat seperti pulau yang muncul dari dalam laut. Saya tahu ke mana tujuannya: sekawanan gajah yang terdiri atas sekitar 30 ekor—seekor jantan bergading panjang, betina dewasa dalam jumlah besar, dan beberapa anak beragam usia—mengunyah tanaman merambat di tepi sungai besar, dingin seperti patung dan hanya sedikit lebih hidup.

Inilah Kalimantan yang melegenda, pulau fantasi dunia, dan memang sama menakjubkannya dengan yang terdengar. Namun, jika Anda ingin melihat Kalimantan sesungguhnya, Kalimantan di dasawarsa pertama abad ke-21, cobalah menjadi elang-ular bido yang bertengger di atas pohon di seberang sungai. Lalu Anda dapat membubung tinggi di atas Sungai Kinabatangan dan melihat betapa cepat rimba yang semrawut berubah menjadi barisan pohon kelapa sawit yang ditanam rapi, membentang berkilo-kilometer ke semua jurusan.

Perkebunan sawit itu tampak rimbun dan hijau, pelepahnya yang melengkung menampilkan keindahan eksotis, tapi bagi keanekaragaman hayati Kalimantan yang tiada bandingannya, hal itu merupakan maut tanpa ampun.

Terletak di antara Laut Cina Selatan dan Laut Jawa serta dibelah dua oleh Khatulistiwa, Pulau Kalimantan telah berbakti di sepanjang sejarah manusia, terutama lewat eksploitasi sumber daya alamnya—banyak yang menganggapnya dijarah—oleh berbagai bangsa dari seluruh dunia yang silih berganti.

Pedagang Tiongkok datang mencari cula badak, kayu gaharu, serta sarang burung untuk sup. Kemudian, saudagar Muslim dan Portugis bergabung untuk mengekspor lada dan emas. Inggris dan Belanda mengendalikan pulau itu selama masa penjajahan pada abad ke-19 hingga awal abad ke-20, saat pembalak mulai menebangi hutan kayu keras tropis yang menyelimuti pulau tersebut. Pembagian Kalimantan secara politis saat ini—tiga perempat di selatan masuk Indonesia, sebagian besar sisanya masuk Malaysia, dan sebagian kecil menjadi Brunei Darussalam—mencerminkan persekutuan zaman penjajahan Inggris dan Belanda yang berakhir dengan kemerdekaan setelah Perang Dunia II.

Dalam beberapa dasawarsa terakhir, perusahaan-perusahaan dari Eropa, Amerika Serikat, dan Australia telah menggali minyak dan gas alam yang melimpah serta batubara di tambang terbuka. Banyak rumah mewah mulai dari Amsterdam hingga Melbourne, dari Singapura hingga Houston, yang dibangun dengan kekayaan dari Kalimantan. Rumah mewah yang dibangun dengan kekayaan Kalimantan juga berdiri di Jakarta dan Kuala Lumpur, karena Indonesia dan Malaysia, atau setidaknya elite ekonomi dan politiknya, adalah yang paling banyak melakukan eksploitasi di antara semuanya.

referensi : http://nationalgeographic.co.id/feature/44/saat-penentuan-kalimantan

Yang Terakhir


Oleh Verlyn Klinkenborg
Foto oleh Joel Sartore

BURUNG-BURUNG PIPIT PULAU MERRITT SUDAH TIDAK ADA LAGI. Tempat peristirahatan terakhir pipit pantai bulu gelap (dusky seaside sparrow) tersebut adalah di dalam botol kaca pada Koleksi Ilmu Unggas di Florida Museum of Natural History. Mata burung tersebut tertutup lapisan tebal dan bulu-bulunya berantakan akibat alkohol yang hampir memenuhi botol. Sebuah label kertas menyatakan bahwa burung tersebut, seekor jantan tua, mati pada 16 Juni 1987. Tiga setengah tahun setelah kematian pipit itu, sebuah lema ringkas muncul di Federal Register yang merupakan jurnal resmi pemerintah AS. Lema itu menyatakan bahwa pipit pantai bulu gelap kini telah punah dan sudah dihapus dari daftar pemerintah federal tentang kehidupan liar yang terancam punah (endangered) dan langka (threatened). Dengan begitu, burung dan habitatnya yang kritis—rawa air payau Pulau Merrit di Florida yang juga merupakan lokasi John F. Kennedy Space Centre—tidak akan lagi dilindungi oleh Undang-Undang Spesies Terancam Punah (Endangered Species Act, ESA).
Apa yang membunuh pipit dari Pulau Merrit? Jawabannya dalam satu kata: kemajuan. Tak seorang pun mengonsumsi pipit pantai bulu gelap yang berhabitat di pinggir pantai ataupun memburunya sebagai aktivitas olah raga. Sarang-sarang burung itu tidak dirusak dan tidak ada yang dimangsa predator yang baru dimasukkan ke pulau itu. Namun lewat penyemprotan DDT untuk mengendalikan nyamuk serta pembangunan kolam buatan yang memungkinkan vegetasi air tawar menggantikan rawa air payau, manusia telah mengubah ekosistem—dengan harapan agar meningkatkan kualitas hidup mereka—lalu menyadari dengan sangat terlambat bahwa betapa pipit pantai bulu gelap begitu terikat dengan habitatnya di tengah-tengah ilalang rawa. Pipit terakhir yang dibotolkan adalah gambaran mengenai satu spesies yang habitatnya lenyap selamanya.

Selama 35 tahun, sejak Richard Nixon mengesahkannya menjadi undang-undang pada Desember 1973, Undang-Undang Spesies Terancam Punah telah menjalankan peran sebagai rumah singgah biologi, semacam status perlindungan hukum bagi makhluk hidup yang memiliki risiko kepunahan. Mungkin akan lebih akurat jika undang-undang tersebut dinamakan Undang-Undang Spesies Langka dan Habitat karena tujuan undang-undang itu adalah untuk melindungi spesies melalui identifikasi dan perlindungan habitatnya yang kritis—hutan dewasa bagi burung hantu totol utara, Sungai Little Tennessee bagi ikan snail darter. Sejak ditandatangani, undang-undang tersebut sudah menuai kontroversi, bukan karena undang-undang itu berupaya untuk menyelamatkan tumbuhan dan satwa liar, tetapi karena usahanya untuk menyelamatkan habitat yang dibutuhkan tumbuhan dan kehidupan liar untuk bertahan hidup. Biasanya—dan inilah yang menjadi sumber masalah—hal itu bermakna mencegah manusia mengubah ekosistem dalam bentuk apapun.

Peraturan yang disahkan pada tahun 1973 itu merupakan undang-undang yang sederhana, ringkas serta tegas. Peraturan tersebut meminta setiap departemen dan lembaga dalam pemerintah federal untuk bekerja secara nyata melindungi spesies yang terancam punah dan langka. Undang-undang tersebut meminta pemerintah federal untuk bekerjasama dengan pemerintah negara bagian dalam melaksanakannya serta mengikat AS untuk mematuhi beberapa perjanjian internasional yang bertujuan melestarikan spesies yang menghadapi kepunahan. Dalam pengertian tertentu, undang-undang tersebut berperan sebagai undang-undang hak asasi bagi semua makhluk hidup selain manusia.

referensi : http://nationalgeographic.co.id/feature/43/yang-terakhir

Nirwana Es


Oleh Bruce Barcott
Foto oleh Paul Nicklen


Kehidupan yang kaya di Svalbard, kepulauan Arktika milik Norwegia, menghadapi pencairan yang mengerikan.
Lima menit melewati tengah malam di Svalbard. Alam liar tengah menggeliat dan berisik. Di ujung muara yang ternaungi di Adventdalen, lembah pada gugusan pulau-pulau di tengah jalan antara Norwegia dan Kutub Utara, sekawanan burung laut arktik melayang tinggi dan melingkar pada cahaya matahari yang abadi. Mereka gelisah. Sepasang burung camar biru keabuan—pemangsa anak ayam, pencuri telur, predator-predator bersayap Arktika yang hebat—sedang mendekat dari timur. Burung-burung laut itu memberi pertahanan yang kuat. Mereka menunjukkan paruh-paruh mereka yang merah kepada burung-burung camar, laksana kumpulan pesawat berbahaya yang siap menyerang.
Strategi mereka berhasil. Burung-burung camar meninggalkan burung-burung laut dan melingkari daratan, melewati sepasang angsa yang bersarang di tanah, sebuah kandang bagi anjing-anjing penarik kereta, dan seekor rusa kutub yang sendirian makan di tundra.

Begitulah malam musim panas yang khas di Svalbard, suatu tempat perlindungan yang lazim di ketinggian Arktika yang kaya akan berbagai macam hidupan liar. Jarang sekali ada tempat di daerah lingkar kutub yang dapat menandingi kepadatan makhluk hidup di sini. Beruang-beruang kutub melimpah di sini. Kira-kira setengah dari sekitar 3.000 beruang pada populasi Laut Barents membesarkan anak mereka di pulau-pulau terpencil di kepulauan ini, dan manusia sudah diperingati untuk tidak mengambil risiko pergi ke luar kota tanpa senapan sebagai perlindungan terhadap beruang kutub (Ursus maritimus). Burung-burung laut bermigrasi ke Svalbard dalam jumlah jutaan ekor. Lima spesies anjing laut dan 12 jenis ikan paus makan di perairan lepas pesisirnya. Walrus-walrus Atlantik makmur di lahan-lahan yang kaya akan kerang sepanjang dasar yang dangkal pada Laut Barents. Di tundra yang terbuka di dataran-dataran tinggi dan lembah-lembah di Svalbard, rusa kutub mencari makanan dan rubah arktik bebas dari pemangsa.

Bagi mata manusia, bentang alam Svalbard tandus, keras, dan tak mengenal ampun. Lebih dari separuh luas wilayah terbungkus dalam es yang mengeras. Wilayah di mana terdapat cukup cahaya dan tanah untuk menunjang tanaman tak sampai 10 persen dari total. Pada pendakian di lereng-lereng Nordenskiöldfjellet (Gunung Nordenskiöld) yang berbatu pada saat musim panas, saya menghitung selama lima jam hanya terdapat tujuh spesies tanaman. Tanaman-tanaman tersebut bergantung pada keberadaan yang lemah, bercangkung di antara lempeng-lempeng penutup dari batu karang yang pecah seperti pertapa di padang gurun.

Bertahun-tahun lalu ketika arkeolog Norwegia Povl Simonsen mempertimbangkan batas-batas ketahanan hidup manusia di utara jauh, ia berbicara tentang “ujung yang mungkin.” Dalam sebagian besar sejarahnya, Svalbard telah berada di luar ujung tersebut. Peradaban kuno tidak pernah menginjakkan kakinya di sini. Orang-orang Viking tidak mendiaminya. Orang-orang Inuit menjauh. Bahkan saat ini, ketika terdapat transportasi pesawat udara setiap hari dari Oslo bagi turis, hanya 2.500 orang yang tinggal di sini sepanjang tahun. Banyak di antara mereka yang bekerja di tambang-tambang batu bara Svalbard.

referensi : http://nationalgeographic.co.id/feature/75/nirwana-es

Paus Secepat Angin


Oleh Jennifer S Holland
Foto oleh Doug Perrine, Brandon Cole, Marc Montocchio


Mereka jarang terlihat. Lebih jarang lagi dipotret. Paus bryde’s melesat melintasi perairan dangkal Pasifik untuk menyantap ikan dengan rakusnya.
Lautan di lepas pantai Baja bergolak laksana arena penembakan torpedo. Seekor paus yang kurus dan panjang melesat dari kedalaman, mengejar ribuan ikan makarel dan sarden yang terdesak ke permukaan oleh ikan-ikan setuhuk dan singa laut. Dengan serta-merta, paus tersebut menyergap kelompok-ikan yang terbesar, mulutnya terbuka lebar, kantong kerongkongannya menggelembung oleh air laut. Meski mulutnya yang menganga menciptakan hambatan yang besar, kibasan ekor si paus yang berotot mendorongnya maju menembus air. Rahangnya lalu mengatup diiringi semburan busa. Pemburu-pemburu yang lain berputar-putar di sekelilingnya, menunggu giliran bersantap.
Dinamai mengikuti nama pengusaha penangkapan paus asal Norwegia hampir seabad silam, Bryde’s (diucapkan bru-daz) merupakan paus balin (tulang penyaring) yang menggunakan pelat-pelat di mulutnya yang menyerupai saringan untuk menapis makanan dari laut. ”Namun mereka sama sekali tidak terlihat seperti raksasa tambun penyaring plankton yang bergerak lamban di permukaan laut,” kata fotografer Doug Perrine. ”Mereka seperti peluru kendali yang licin,” menyerang mangsa yang lebih besar dan lebih gesit dibandingkan sejumlah spesies paus balin lainnya. Perrine dan rekan-rekannya tengah memotret ikan-ikan setuhuk ketika mereka menyaksikan paus-paus yang jarang terpotret itu. Menyelam bersama paus-paus tersebut ”terasa seperti berjalan di rel kereta saat kabut,” kata Perrine, ”kita sadar bahwa lokomotif berkecepatan tinggi dapat muncul begitu saja,” dari arah manapun, tanpa suara peringatan apapun.

Herannya hanya sedikit yang diketahui tentang spesies tersebut. Paus bryde’s yang lapisan lemak tubuhnya tidaklah tebal kurang diminati oleh penangkap paus. Mamalia raksasa ini juga kurang diperhatikan para ilmuwan, antara lain karena spesies tersebut sulit ditemukan. Paus bryde’s bepergian dalam kelompok-kelompok kecil atau sendirian dan mampu menyelam hingga kedalaman 300 meter. Menurut laporan, paus ini paling banyak ditemukan di perairan khatulistiwa yang hangat dan kemungkinan besar berkembang biak sepanjang tahun serta bisa jadi menggunakan suara berfrekuensi rendah untuk menemukan sesamanya dalam jarak yang sangat jauh. Namun informasi rinci tentang pergerakan, kebiasaan kawin, dan status populasinya masih belum jelas, terkadang tercampur aduk dengan saudaranya yang lebih terkenal yaitu paus sei—yang membuat pertemuan tak terduga dengan paus bryde’s di tengah samudera biru yang luas menjadi semakin indah.

referensi : http://nationalgeographic.co.id/featurepage/109/paus-secepat-angin/2

Hutan Sequoia


Oleh JOEL K. BOURNE, JR.
Foto oleh MICHAEL NICHOLS

Pohon ini dapat berkembang menjadi pohon tertinggi di Bumi, menghasilkan kayu, menciptakan lapangan kerja, menyimpan air bersih, dan menampung berbagai spesies binatang.
Di suatu lereng bukit di California, pepohonan besar telah habis. Bukit itu hanya penuh dengan pohon sequoia kecil, scotch broom (Cystisus scoparius), dan oak beracun (Toxicodendron diversilobum). Di bukit itulah Mike Fay terpeleset, meluncur jatuh, dan merasakan tusukan benda tajam di bagian atas kaki kirinya. Setelah merambahi ratusan kilometer hutan dengan bersandal, kakinya yang berusia 52 tahun sudah terbiasa dengan hal semacam itu. Namun, serpihan itu besar. Mengenai tulang, bersarang di tendon, dan tak mau keluar. Akhirnya rekan sependakiannya, Lindsey Holm, menjepit benda itu dengan tang kecil. Selah berkali-kali ditarik, akhirnya lepas juga.
“Teriakanku bisa kau dengar dari satu puncak ke puncak gunung lainnya,” ujar Fay. “Itu salah satu hal paling menyakitkan yang pernah kualami.” Pernyataan ini tak bisa diremehkan mengingat dia pernah 16 kali ditusuk gajah. Fay membebat lukanya, menyandang tasnya, dan seperti yang ia lakukan selama tiga bulan terakhir, lalu terus berjalan.

Setelah tiga dasawarsa ikut menyelamatkan hutan Afrika, Mike Fay, biolog Wildlife Conservation Society dan anggota explorer-in-residence National Geographic Society, kini terobsesi pada pohon sequoia atau redwood. Hal itu bermula beberapa tahun lalu setelah melakukan megatransect—eksplorasi rimba perawan terbesar Afrika ala David Livingstone. Suatu hari saat menelusuri pesisir California utara, kebetulan ia melihat lajur-lajur hutan yang telah dibabat dan hutan sekunder yang kurus. Lain waktu di sebuah taman nasional, pajangan berupa irisan batang sequoia tua berdiameter 1,8 meter menarik perhatiannya. Di dekat pusat irisan yang merah kehitaman tertera label: “1492 Columbus.”

“Label yang membuatku tercenung, sekitar delapan sentimeter dari pinggir,” kata Fay. “‘Demam Emas, 1849.’ Dari beberapa sentimeter terakhir lingkaran umur pohon itu, kusadari bahwa kita hampir menghabiskan hutan yang berusia 2.000 tahun.”

Pada musim gugur 2007 ia memutuskan melihat sendiri bagaimana dulu pohon tertinggi di Bumi itu dieksploitasi serta bagaimana diperlakukan sekarang. Berjalan menyusuri kawasan sequoia California dari Big Sur hingga melewati perbatasan Oregon, ia ingin mengetahui, adakah cara memaksimalkan produksi kayu maupun memaksimalkan berbagai manfaat sosial dan ekologi hutan yang utuh. Dia percaya jika dapat dilakukan pada hutan sequoia, hal itu juga dapat dilakukan di mana saja di Bumi yang hutannya dibabat demi keuntungan jangka pendek. Sebagaimana yang dilakukan saat megatransect, dia dan Holm memotret dan membuat catatan detail dalam perjalanan 11 bulan tersebut tentang kehidupan tumbuhan, kehidupan liar, serta kondisi hutan dan sungai. Mereka juga berbincang dengan masyarakat sequoia: pembalak, rimbawan, biolog, pencinta lingkungan, pemilik kafe, serta eksekutif perusahaan kayu—semua yang bergantung pada hutan.

Saat itu adalah tahun yang baik untuk berjalan di kawasan hutan sequoia. Setelah lebih dari dua dasawarsa bermasalah dengan pencinta lingkungan serta penegak hukum negara bagian dan federal AS karena praktik pembalakan berlebihan, Pacific Lumber Company yang sering dihujat akhirnya bangkrut dan ditata ulang. Walaupun sebagian besar sisa pohon sequoia tua dilindungi, spesies binatang yang jadi simbol rimba sequoia—burung hantu tutul utara (Strix occidentalis caurina), burung laut kecil bernama marbled murrelet (Brachyramphus marmoratus), dan ikan salem coho (Oncorhynchus kisutch)—populasinya terus turun dengan laju yang membahayakan, sementara krisis ekonomi dan perumahan juga membuat kilang penggergajian di seantero kawasan hutan itu tutup. Kebakaran terparah dalam sejarah memusnahkan ratusan ribu hektare hutan. Pariwisata pun menurun.

Namun, ada hal lain yang berkembang di tengah hutan. Pembicaraan di antara grup lingkungan, konsultan perhutanan, bahkan beberapa perusahaan kayu serta masyarakat adalah: hutan sequoia berada di persimpangan sejarah yang penting—saat masyarakat bisa meninggalkan debat tentang pilihan untuk menebang atau tidak selama berpuluh tahun lalu, kemudian merangkul pengelolaan hutan yang bermanfaat bagi masyarakat, kehidupan liar, bahkan mungkin bagi planet ini. Semakin jauh berjalan, Fay semakin yakin. “California mengubah dunia dengan chip silikon,” ujarnya. Suaranya lirih sebelum mengungkap maksudnya. “Mereka bisa melakukan hal yang sama pada manajemen hutan.”


ay dan Holm mulai berjalan di ujung selatan hutan. Mereka berbelok-belok sejauh 2.900 kilometer melalui kelompok pohon yang setidaknya pernah sekali ditebang. Banyak pula yang ditebang tiga kali sejak 1850, menyisakan pulau-pulau hutan sekunder yang lebih besar di tengah lautan pohon yang masih kecil.

Namun, pada suatu hari di bulan Mei, hampir tiga perempat perjalanan menuju transek, mereka tiba di batas selatan Humboldt Redwoods State Park. Di sana terdapat blok utuh hutan sequoia tua terluas yang tersisa di planet ini—sekitar 4.000 hektare. Dataran aluvial tepi sungai dan anak sungainya merupakan habitat ideal sequoia. Perpaduan tanah subur, air, dan kabut dari samudra telah menghasilkan hutan tertinggi di planet ini. Dari 180 sequoia yang dikenal dan tingginya lebih dari 106 meter, lebih dari 130 tumbuh di sini.

Setelah menyeberangi sungai sempit berwarna hijau zamrud, mereka mendaki tepi sungai di seberang dan masuk ke area teduh berhias berkas-berkas cahaya yang dibentuk oleh hutan kecil terindah yang mereka lihat sejauh ini. Sequoia sebesar roket Saturn (yang meluncurkan wahana luar angkasa Apollo) mencuat dari tanah bagai tanaman kacang polong raksasa dalam dongeng. Pangkalnya hitam akibat api. Ada yang memiliki kulit kayu tebal bagaikan tali yang berpilin-pilin ke langit. Ada yang memiliki lubang besar yang dikenal sebagai kandang angsa—karena dimanfaatkan untuk itu oleh kaum pionir awal—cukup besar untuk menampung 20 orang.

Puncak-puncak pohon sebesar mobil VW Combi ada yang tergeletak dan separuhnya terkubur di antara dedaunan sorrel (Oxalis oregana) dan pakis pedang (Polystichum munitum) setelah jatuh dari ketinggian setara 30 lantai bagaikan korban perang kolosal melawan angin. Sekarang pun angin masih berkejar-kejaran di antara puncak pohon yang berderit dan mengerang bagai suara suling. Pantas saja Steven Spielberg dan George Lucas membuat adegan film sekuel Jurassic Park dan Return of the Jedi di antara para raksasa sequoia: Saya tak akan heran jika T rex atau Ewok tiba-tiba melongokkan kepala.

Sequoia tetap terasa ajaib bagi rimbawan, karena kulit dan kayu terasnya kaya akan senyawa polifenol. Serangga dan jamur pelapuk tidak menyukainya. Dan karena kulitnya yang mirip tali-tali itu tidak mengandung banyak damar, sequoia yang lebih besar sangat tahan terhadap api.
Mungkin hal yang paling menakjubkan soal sequoia adalah kemampuannya bertunas setiap kali kambiumnya—jaringan hidup persis di bawah kulit—terkena cahaya. Jika pucuknya patah, dahan terpotong, atau pohon itu ditebang oleh pembalak, dahan baru akan bertunas dari luka itu dan tumbuh dengan cepat. Di seluruh hutan terdapat tunggul besar yang dasarnya dikelilingi kumpulan pohon generasi kedua yang sering disebut cincin peri. Pohon-pohon dalam kumpulan tersebut adalah klona induknya dan DNA-nya dapat berusia ribuan tahun. Anehnya, runjung sequoia berukuran mungil—sekecil zaitun—dan hanya sesekali menghasilkan biji. Akibatnya, tunas tunggul penting bagi kelangsungan spesies sequoia sepanjang era penebangan.

Pohon ini memiliki kemampuan lain yang disukai rimbawan. Dengan toleransi yang tinggi terhadap keteduhan dan kemampuannya bertunas, sequoia bisa hidup dorman (pertumbuhan tak lancar) dalam bayangan pohon yang lebih tua selama puluhan tahun. Namun, begitu pohon dominan tumbang atau ditebang, membentuk celah pada tajuk, dan cahaya baru masuk ke dalam hutan, sequoia yang terhambat ini mulai tumbuh—fenomena yang disebut pembebasan.

referensi : http://nationalgeographic.co.id/feature/110/hutan-sequoia

Anggrek lihai


Oleh Michael Pollan
Foto oleh Christian Ziegler


Bagaimana cara sebuah tumbuhan menyebarkan gen miliknya, jika ia terjebak di satu tempat? Caranya dengan mengelabui binatang, termasuk kita, agar jatuh cinta kepadanya.
Makhluk seperti kita memang kurang menghargai tumbuhan. Jika ingin merendahkan sesama manusia yang dianggap tak berguna misalnya, masyarakat Barat menyebutnya sebagai “tanaman dalam pot”. “Sayur” adalah istilah untuk menyebut orang yang tidak berdaya, yang kehilangan segala kemampuan untuk bertahan hidup. Kenyataannya, tumbuhan mampu menjalani hidupnya dengan baik dan hal itu telah dilakukannya selama jutaan tahun sebelum kita muncul.

Betul, tumbuhan tak punya kemampuan bergerak, penguasaan terhadap alat dan api, ataupun keajaiban akal sehat dan bahasa. Bagi makhluk seperti kita, berbagai kemampuan tersebut menjadi alat bertahan hidup yang kita anggap paling “maju”. Namun jika lain kali kita terdorong untuk merayakan akal sehat manusia sebagai puncak kegemilangan evolusi, mari kita berhenti sesaat untuk mempertimbangkan dari mana kita mendapatkan ide tersebut.

Untuk menguji gagasan itu, marilah kita merayakan puncak-puncak kegemilangan evolusi lainnya, evolusi yang akan mendapat perhatian lebih besar apabila sejarah alam ditulis oleh tumbuhan, bukan binatang. Ketika kita sibuk menguasai kemampuan bergerak, akal sehat, dan bahasa, tetumbuhan mengembangkan keahlian-keahlian yang lain, melibatkan fakta kunci eksistensial dalam kehidupannya. Yaitu, hal-hal yang berkaitan dengan akar. Bagaimana cara sebuah makhluk menyebarkan gen miliknya jika ia terjebak di satu tempat? Ia akan menjadi sangat ahli dalam hal-hal seperti biokimia, rancang-bangun, desain, warna, dan seni memanipulasi berbagai makhluk “tingkat tinggi”, termasuk makhluk seperti kita. Saya memikirkan secara khusus mengenai salah satu keluarga tumbuhan bunga, yaitu 25.000 spesies anggrek yang dalam kurun sekitar 80 juta tahun terakhir telah berhasil menguasai enam benua, menguasai setiap habitat tanah yang dapat dijangkau, dari gurun di bagian barat Australia hingga hutan dataran tinggi Amerika Tengah, dari kanopi hutan hingga di bawah permukaan tanah, dari puncak-puncak pegunungan terpencil di Mediterania hingga ruang-ruang keluarga, kantor, dan restoran di seluruh dunia.

Apa rahasia kesuksesan mereka? Dalam satu kata: tipu muslihat. Beberapa jenis anggrek memang menawarkan hadiah makanan kepada serangga dan burung yang membawa serbuk sari mereka dari satu tumbuhan ke tumbuhan lainnya secara konvensional. Namun, kurang lebih sepertiga dari jumlah total spesies anggrek sejak lama sudah mengetahui, tentunya tanpa sadar, bahwa mereka dapat menghemat pengeluaran nektar dan memperbesar kemungkinan reproduksi dengan mengembangkan tipuan yang cerdas, entah dalam bentuk tipuan visual, aromatik, sentuhan, atau ketiganya sekaligus. Beberapa jenis anggrek menarik lebah dengan iming-iming makanan (yang palsu) lewat tampilan yang meniru bunga-bungaan penghasil nektar. Sementara yang lain, dalam kasus anggrek Drakula, memikat agas dengan memeroduksi bebauan tajam, dari jamur dan daging busuk hingga kencing kucing dan popok bayi.

Namun mungkin, tipu muslihat paling cerdas yang ditawarkan oleh anggrek adalah yang menjanjikan iming-iming seks. Juga bukan tipe seks yang normal. Bahkan kenyataannya, tipe seks yang sangat aneh.

referensi : http://nationalgeographic.co.id/featurepage/107/anggrek-lihai/2

Maskot Yang Terancam

Oleh Tantyo Bangun
Foto oleh Michael Sjukrie

Ketidaksepakatan antara para pihak yang berkaitan dengan pelestarian penyu hijau di perairan Berau, menyebabkan masalah semakin rumit.
Sore itu Derpin melaju dengan perahunya di atas gugusan karang yang melingkupi Pulau Maratua, ke utara ke arah Pulau Bakungan. Lima belas menit berperahu, sampailah nelayan dari Kampung Payung-Payung ini di tempat pemancingannya. Sejenis pukat asing, bukan seperti yang biasa dipakai nelayan setempat, tampak mengapung. Di kedalaman, terlihat seekor penyu mati kaku terjerat jaring. Agak ke bawahnya ada satu lagi, dan satu lagi dan banyak lagi.


Hari sudah menjelang gelap di gugusan pulau terdepan Kabupaten Berau, Kalimantan Timur itu dan Derpin tak sanggup mengangkat pukat itu sendirian. Ia lalu bergegas pulang dan kembali esok pagi-pagi sekali. Saat kembali di akhir November 2009 itu, ia sudah tidak sendirian di lokasi. Sekelompok penyelam dari Jerman yang sedang berada di resor terdekat juga sudah berada di lokasi. Bersama-sama mereka bahu-membahu menarik jaring itu dari kedalaman. Ada paling tidak 40 ekor penyu hijau (Chelonia mydas) terjerat mati. Ikan hiu ada 6 ekor tapi masih hidup dan dilepaskan.

“Wah, menangis mereka,” kenang Derpin akan para wisatawan itu. Sambil mengangkat penyu-penyu itu mereka tak dapat menahan haru menyaksikan binatang yang menjadi teman mereka menyelami terumbu karang terjerat dan mati sia-sia. Hari itu para wisatawan itu berpatungan merogoh kocek membayar sewa perahu dan alat selam. Bersama aparat, mereka menyelami dan menarik jaring penyu total panjang 1.600 meter.

Ini adalah modus terbaru dalam perburuan binatang dilindungi seperti penyu di lautan selama beberapa tahun terakhir. Para nelayan ilegal itu membentangkan jaring yang melayang di kedalaman laut dengan panjang ribuan meter dan meninggalkannya. Mereka akan memeriksanya setelah beberapa saat. Modus ini membuat kejahatan ini sulit dilacak dan ditangkap karena sulit membuat mereka tertangkap tangan

Jaring yang membentang itu akan menjerat apa saja yang bisa terjerat. Utamanya adalah ikan besar dan mahluk laut lain yang cukup besar seperti penyu. Penyu apabila terjerat dan tidak bisa muncul ke permukaan —penyu adalah reptil yang bernapas dengan paru-paru—untuk menghirup udara, akan mati lemas.

referensi : http://nationalgeographic.co.id/featurepage/128/maskot-yang-terancam/2

Mengurangi Emisi, Menimbang Potensi


“Waktu kejadian mati listrik beberapa waktu lalu, dalam satu hari saya rugi sekitar 1,5 juta,” ujarnya, sesaat setelah mengetahui bahwa saya ingin mendapat informasi soal kebutuhan listrik industri kecil seperti miliknya. Kerugian itu, Slamet menjelaskan, disebabkan oleh pelanggan yang kecewa dan pada akhirnya membatalkan pesanannya.

Selama kurang lebih 20 tahun mengelola usaha pembuatan pakaian jadi, Slamet mengakui kebutuhan energi listriknya terus membengkak dan menjadi kian vital. “Dulu cuma ada 1-2 mesin (jahit listrik), sekarang, lantaran banyaknya pesanan, sudah ada sepuluh karyawan dan penambahan mesin. Otomatis kebutuhan listriknya bertambah,” Slamet menjelaskan. Kondisi yang sama dialami oleh Dewi, 28 tahun, yang mengelola usaha pembuatan segala jenis tas. Meski tidak pernah benar-benar menghitung kerugian akibat padamnya listrik, Dewi mengutarakan bahwa kebutuhannya akan pasokan listrik semakin berkembang seiring bertumbuhnya bisnis tas miliknya.
***
DUA TAHUN LALU, nun di perbukitan Mundi, Desa Klumpu, di Pulau Nusa Penida, saya menyaksikan lima buah menara kincir angin berdiri tegak. Namun, empat di antaranya terlihat tidak berputar sama sekali. Satu kincir, yang berputar, pun lamat-lamat lalu berhenti. Seorang teknisi kemudian memanjat menara kincir setinggi kira-kira 30 meter, seperti hendak melakukan sesuatu.
Setelah turun, saya tanyakan kenapa semua kincir angin berhenti. Dia tidak tahu. Yang dia tahu, ketika berhenti berputar, putaran baling-baling berdiameter 18 meter itu mesti dipancing dengan menggunakan energi listrik dari mesin diesel yang dipasok PLN.
Kincir angin tersebut merupakan bagian dari proyek “Renewable Energy Park” atau Taman Energi Terbarukan (TET) yang dicanangkan pemerintah sekitar empat tahun lalu. Selain kincir angin yang masing-masing diproyeksikan menghasilkan 80 kWh dan menghemat 5.000 liter solar per bulan, juga ditanam perkebunan jarak pagar (Jatropha curcas) di atas lahan seluas 22 hektare. Bukan itu saja, di bukit Mundi juga dibangun rangkaian panel surya untuk pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dengan kapasitas pembangkit 32 kWh.
Bagaimana hasilnya?
“Hingga kini kincir angin itu tidak pernah berputar," ujar I Made Sudi Arta Jaya, Camat Nusa Penida. Menurut Made, sejak dicanangkan TET di wilayahnya, tidak ada langkah yang serius untuk menindaklanjutinya. “Yang jelas masyarakat belum merasakan dampaknya sama sekali. Minyak jarak juga tidak ada yang membeli di sini, lebih baik lahannya dibuat untuk menanam yang lain saja,” tukas Made.
***
Apa yang dialami Slamet, Dewi, atau Made di Bali merupakan potret bagaimana pengelolaan energi kita sekaligus menunjukkan bahwa bagi sektor riil, ketersediaan energi listrik merupakan salah satu faktor kunci untuk bertumbuh.
Namun, di tengah realitas terkini itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengajukan tantangan: Indonesia mesti bisa mengurangi emisi karbon sebesar 26 persen, dihitung dari keadaan business as usual (BAU) dalam kurun waktu sepuluh tahun ke depan.
SBY melontarkan tantangan tersebut tiga kali. Pertama dalam pertemuan para pemimpin G-20 pada 25 September 2009 di Pittsburgh, Amerika Serikat. Dalam pidatonya tersebut, presiden bahkan mengatakan mampu mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) hingga 41 persen jika mendapat bantuan internasional. Presiden kembali melontarkan janji serupa di Brussel, dan kemudian terakhir dalam Konferensi para Pihak (CoP) ke-15 di Kopenhagen, Denmark, Desember lalu.


referensi : http://nationalgeographic.co.id/featurepage/136/mengurangi-emisi-menimbang-potensi/2

Melindungi Patagonia

Tempat yang dulunya merupakan peternakan Samsing kini berubah menjadi danau es dengan bongkah-bongkah es yang mengapung di permukaannya. Gletser tersebut, yang kini dinamakan Pio XI, sempat berdiam sesaat, kemudian melanjutkan pergerakannya lagi. Saat ini gletser tersebut tengah dalam proses mencerabut sebuah hutan sampai ke akarnya, menyingkirkan tutupan pohonnya dengan perlahan. Di sepanjang jalur pepohonan yang tercerabut, Guaitecas cypreses, beberapa di antaranya berumur ratusan tahun, tampak seakan tumbang dalam gerakan lambat. Akar-akar pohon tercerabut, tajuk-tajuknya terpatahkan, batang-batangnya bergelimpangan. Bongkahan-bongkahan es sebesar gajah telah longsor dan bergerak melewati bagian bawah lelumutan dan tumbuhan rawa pemakan daging.

Daerah hutan yang tengah tergusur oleh Pio XI merupakan jenis hutan hujan Magellanis – bukan jenis hutan hujan tropis bertajuk rimbun yang gelap, namun yang berjenis bonsai dengan dedaunan kusut yang kerap terlihat di antara barisan pohon di pegunungan. Dan hal ini tidak mengherankan. Fjord-fjord dan pulau-pulau di Patagonia Cile mendapat pengaruh terbesar dari pergerakan angin barat yang berembus dari laut selatan. Di daerah ini, di tengah-tengah angin yang menderu kencang, angin ini dapat bertiup dengan ganas secara konstan. Hujan dan salju dapat turun sepanjang tahun.

Tidak ada tempat di muka bumi yang benar-benar beristirahat. Hanya waktu yang menciptakan ilusi keadaan stabil. Namun kadangkala, jika Anda beruntung, Anda akan menemukan suatu tempat di mana waktu seakan berjalan lebih lambat, tempat Anda dapat merasakan betapa besar sebuah kekuatan geologis.

Gletser yang membentuk pesisir pantai Cile merupakan salah satunya. Di tempat ini, energi Bumi nampak sangat jelas. Lempeng-lempeng tektonik menyebar dan menghujam ke bawah pinggiran benua ini, mengangkat pegunungan Andes dan menciptakan sebuah zona geologis yang labil. Dari bagian interior lapangan-lapangan es tersebut, gletser seperti Pio XI – sungai es pendek yang brutal – dengan lancar mengalir turun menuju laut. Di lepas pantai, arus air naik dari Arus Peru merupakan air pancuran bagi kehidupan bawah air. Garis pantainya yang terbelah-belah oleh labirin air, memanjang hingga 90.000 kilometer. Bagian ini dikuasai oleh lautan dan es.

referensi : http://nationalgeographic.co.id/featurepage/131/melindungi-patagonia/2

Tetes Air Terakhir


Anda tidak harus menjadi seorang pejuang lingkungan berkomitmen tinggi seperti Pape, editor layanan berita mengenai perubahan iklim, untuk menyadari bahwa masa air murah dan melimpah sudah mendekati titik akhir. Walau masih dibutuhkan waktu sangat lama hingga Bumi akan mati kekeringan. “Bahwa kita akan menemukan cara menangani masalah pasokan air adalah hal yang pasti,” ujar Peter Gleick, presiden Pacific Institute, sebuah lembaga penelitian lingkungan nonpartisan. “Tantangannya adalah bagaimana kita dapat menangani dan menghindari kesengsaraan serta penderitaan untuk mencapai tujuan kita.”

Menurut pandangan Gleick, ada dua cara penyelesaian yang dapat dilakukan. Cara sulit, di mana sebagian besar fokus tertuju hanya pada cara untuk menyediakan pasokan air baru, seperti bendungan , kanal-kanal, dan pipa-pipa maha besar yang mengalirkan air dalam jarak sangat jauh. Gleick lebih memilih cara mudah: sebuah metode pendekatan komprehensif yang mencakup pelestarian dan efisiensi, infrastruktur berskala komunitas, perlindungan terhadap ekosistem air, pengelolaan pada tingkat pelaksanaan dan bukan administratif, serta tata ekonomi yang cerdas.

Hingga pertengahan tahun 1980-an, kota Albuquerque, sekitar 100 kilometer barat daya tempat tinggal Pape di Santa Fe, tak menyadari bahwa mereka harus melakukan perubahan untuk mengatasi masalah pasokan air. Para ahli hidrogeologi meyakini bahwa kota ini berada di atas sebuah reservoir bawah tanah “sebesar Lake Superior,” kata Katherine Yuhas, direktur konservasi Otoritas Pengelola Air Albuquerque Bernalillo County. Budaya dan kebiasaan setempat disesuaikan dengan kondisi daerah hijau : Para agen pengembang memikat pembeli potensial dari wilayah-wilayah lembap dan hijau dengan tata lanskap yang serimbun dan sehijau negara bagian Vermont; standar tata bangunan setempat mengharuskan adanya pekarangan. Namun, kemudian penelitian mengungkap kabar yang mengejutkan: akuifer Albuquerque sama sekali tidak sebesar yang diperkirakan dan telah disedot lebih cepat daripada kemampuan tingkat curah hujan dan lelehan salju untuk mengisinya kembali.

referensi : http://nationalgeographic.co.id/featurepage/146/tetes-terakhir/2

Gunung Yang Berubah


Pertama kali menyelam di bawah bayangan Gunung St. Helens semasa remaja dahulu, masih terlintas dalam benaknya kondisi danau itu sebelum letusan pada bulan Mei 1980, sebelum sekitar 400 meter dari puncak gunung berapi itu—kira-kira tiga miliar meter kubik lumpur, debu, dan salju yang meleleh—meluncur ke dalam danau itu. Sebelum ukuran danau itu menjadi dua kali lebih besar tetapi hanya setengah kedalamannya. Sebelum akhirnya semua bukti kehidupan, binatang maupun manusia – kabin, jalanan, kamp, dan kaleng – disapu bersih. Sebelum danau itu menjadi hamparan sup tengik tanpa oksigen, dan ditutupi oleh hamparan tunggul pepohonan yang mengambang akibat tercerabut dari lanskapnya. Hal yang tertanam jelas di dalam ingatan Smith adalah apa yang dia sebut sebagai hutan “yang membatu”: pohon-pohon cemara tanpa cabang yang berdiri tegak dengan muramnya, terkubur dengan posisi berdiri lusinan meter di bawah permukaan air. Hutan di bawah air itu selalu menjadi sebuah misteri baginya sampai gunung itu meletus. Setelahnya, dia baru bisa memahaminya. Pepohonan itu adalah bukti terjadinya letusan di masa lalu—sebuah tanda Lake Spirit selalu menjadi langganan bencana.

Tiga dekade kemudian, Lake Spirit menjadi rumah bagi sebuah misteri baru: Bagaimana ikan, yang kini ukurannya dua kali lipat sebelum terjadi letusan, muncul kembali? Semua orang memiliki teorinya masing-masing. Smith, yang mengendalikan Eco Park Resort di pinggir monumen gunung berapi menduga ikan salem ini meluncur dari Danau St. Helens yang lebih kecil dengan posisi lebih tinggi pada saat banjir terjadi. Tetapi danau itu hanya dihuni oleh ikan salmon mackinaw—sementara ikan di Lake Spirit dari jenis pelangi. Ahli biologi Bob Lucas dari Departement of Fish and Wildlife di Washington meyakini bahwa seseorang secara ilegal telah menyebarkan benih ikan itu. Di akhir tahun 1990-an, sebuah telepon tak dikenal ke rumahnya seakan-akan membuktikan kecurigaannya: “Saya adalah orang yang menyebarkan benih ikan itu.” Pengujian awal genetik oleh ahli ekologi Charlie Crisafulli dari Forest Service juga menyatakan ikan salem itu bukanlah keturunan dari populasi ikan sebelum letusan. Baginya, pertanyaan yang lebih penting bukanlah bagaimana mereka tiba di sana tetapi bagaimana mereka bisa tumbuh sedemikian besarnya. Pada ulang tahun ke-30 letusan tanggal 18 Mei, salah satu hal yang pasti mengenai ikan salem di Lake Spirit adalah ikan ini telah memberikan semua orang—aktivis lingkungan, ilmuwan, nelayan, anggota kongres, pemburu, dan pemilik bisnis—sesuatu untuk diperdebatkan.

Danau seluas 11 kilometer persegi itu kini terletak di tengah-tengah kawasan penelitian yang tertutup, yang menempati seperempat dari 445 kilometer persegi Monumen Nasional Gunung Api St. Helens, yang telah disetujui Kongres pada 1982 “untuk melindungi sumber daya geologi, ekologi, dan kebudayaan … dengan cara yang sealami mungkin, memungkinkan berbagai kekuatan alami geologi dan kesinambungan ekologi untuk terus berlangsung tanpa gangguan.” Bagian dari zona ledakan yang kerap ditutup bagi publik ini telah menjadi salah satu tempat penelitian terbesar di planet kita.

Gunung berapi itu kembali hidup pada 2004 hingga 2008, memuntahkan uap panas dan debu sekitar 9.000 meter ke angkasa, menciptakan kubah lava baru di kawahnya sehingga memukau para pemerhati dan ahli geologi. Tetapi yang paling menarik di kawasan itu adalah dari sisi ekologi.

referensi : http://nationalgeographic.co.id/featurepage/148/gunung-yang-berubah/2

Sabtu, 08 Mei 2010

Persaingan Pasar Tradisional Dengan Pasar Modern



Berbeda dengan pasar modern, pasar tradisional sejatinya memiliki keunggulan bersaing alamiah yang tidak dimiliki secara langsung oleh pasar modern. Lokasi yang strategis, area penjualan yang luas, keragaman barang yang lengkap, harga yang rendah, sistem tawar menawar yang menunjukkan keakraban antara penjual dan pembeli merupakan keunggulan yang dimiliki oleh pasar tradisional.

Namun, selain menyandang keunggulan alamiah, pasar tradisional memiliki berbagai kelemahan yang telah menjadi karakter dasar yang sangat sulit diubah. Faktor desain dan tampilan pasar, atmosfir, tata ruang, tata letak, keragaman dan kualitas barang, promosi penjualan, jam operasional pasar yang terbatas, serta optimalisasi pemanfaatan ruang jual merupakan kelemahan terbesar pasar tradisional dalam menghadapi persaingan dengan pasar modern.

Ketika konsumen menuntut ’nilai lebih’ atas setiap uang yang dibelanjakannya, maka kondisi pasar pasar tradisional yang kumuh, kotor, bau, dengan atmosfir seadanya dalam jam operasional yang relatif terbatas tidak mampu mengakomodasi hal ini. Kondisi ini menjadi salah satu alasan konsumen untuk beralih dari pasar tradisional ke pasar modern. Artinya, dengan nilai uang yang relatif sama, pasar modern memberikan kenyamanan, keamanan, dan keleluasaan berbelanja yang tidak dapat diberikan pasar tradisional.

Kondisi ini diperburuk dengan citra pasar tradisional yang dihancurkan oleh segelintir oknum pelaku dan pedagang di pasar. Maraknya informasi produk barang yang menggunakan zat kimia berbahaya serta relatif mudah diperoleh di pasar tradisional, praktek penjualan daging oplosan, serta kecurangan-kecurangan lain dalam aktifitas penjualan dan perdagangan telah meruntuhkan kepercayaan konsumen terhadap pasar tradisional.

Belum lagi kenyataan, Indonesia adalah negara dengan mayoritas konsumen berasal dari kalangan menengah ke bawah. Kondisi ini menjadikan konsumen Indonesia tergolong ke dalam konsumen yang sangat sensitif terhadap harga. Ketika faktor harga rendah yang sebelumnya menjadi keunggulan pasar tradisional mampu diruntuhkan oleh pasar modern, secara relatif tidak ada alasan konsumen dari kalangan menengah ke bawah untuk tidak turut berbelanja ke pasar modern dan meninggalkan pasar tradisional.

Ancaman Pasar Modern Terhadap Pasar Tradisional

Eksistensi pasar modern di Indonesia mengalami perkembangan yang sangat pesat. Menurut data yang diperoleh dari Euromonitor (2004) hypermarket meru-pakan peritel dengan tingkat pertumbuhan paling tinggi (25%), koperasi (14.2%), minimarket / convenience stores (12.5%), independent grocers (8.5%), dan su-permarket (3.5%).

Selain mengalami pertumbuhan dari sisi jumlah dan angka penjualan, peritel modern mengalami pertumbuhan pangsa pasar sebesar 2.4% pertahun terhadap pasar tradisional. Berdasarkan survey AC Nielsen (2006) menunjukkan bahwa pangsa pasar dari pasar modern meningkat sebesar 11.8% selama lima tahun terakhir. tiga tahun terakhir. Jika pangsa pasar dari pasar modern pada tahun 2001 adalah 24.8% maka pangsa pasar tersebut menjadi 32.4% tahun 2005. Hal ini berarti bahwa dalam periode 2001 – 2006, sebanyak 11.8% konsumen ritel Indonesia telah meninggalkan pasar tradisional dan beralih ke pasar modern.

Keberadaan pasar modern di Indonesia akan berkembang dari tahun ke tahun. Perkembangan yang pesat ini bisa jadi akan terus menekan keberadaan pasar tradisional pada titik terendah dalam 20 tahun mendatang. Pasar modern yang notabene dimiliki oleh peritel asing dan konglomerat lokal akan menggantikan peran pasar tradisional yang mayoritas dimiliki oleh masyarakat kecil dan sebelumnya menguasai bisnis ritel di Indonesia.

Untuk mengantisipasi hal tersebut perlu adanya langkah nyata dari pedagang pasar agar dapat mempertahankan pelanggan dan keberadaan usahanya. Para pedagang di pasar tradisional harus mengembangkan strategi dan membangun rencana yang mampu memenuhi kebutuhan dan tuntutan konsumen sebagaimana yang dilakukan pasar modern. Jika tidak, maka mayoritas pasar tradisional di Indonesia beserta penghuninya hanya akan menjadi sejarah yang tersimpan dalam album kenangan industri ritel di Indonesia dalam waktu yang relatif singkat. (*)Pertarungan sengit antara pedagang tradisional dengan peritel raksasa merupakan fenomena umum era globalisasi. Jika Pemerintah tak hati-hati, dengan membina keduanya supaya sinergis, Perpres Pasar Modern justru akan membuat semua pedagang tradisional mati secara sistematis.
Hanya tinggal menunggu waktu pasar tradisional akan mati oleh pasar modernSetelah tertunda 2,5 tahun, Peraturan Presiden (Perpres) No 112 Tahun 2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan, serta Toko Modern (biasa disebut Perpres Pasar Modern), akhirnya ditandatangani oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 27 Desember 2007 lalu.

Enam pokok masalah diatur dalam Perpres yaitu definisi, zonasi, kemitraan, perizinan, syarat perdagangan (trading term), kelembagaan pengawas, dan sanksi. Soal zonasi atau tata letak pasar tradisional dan pasar modern (hypermart), menurut Perpres, disusun oleh Pemerintah Daerah (Pemda). Ini membuat pemerintah pusat terkesan ingin “cuci tangan”, mengingat tata letak justru merupakan persoalan krusial sebab tak pernah konsisten dipatuhi, yang lalu membenturkan keduanya. Pendirian Carrefour di kawasan CBD Ciledug, Kota Tangerang, Banten, misalnya. Awalnya Carrefour Ciledug ditolak keras oleh semua pedagang tradisional di sekelilingnya, tetapi pada akhirnya bisa beroperasi dengan mulus persis menjelang Natal 2007.

Pengalihan kewenangan mengeluarkan Izin Usaha Pasar Modern (IUPM) ke Pemda, memungkinkan pasar tradisional selalu dikorbankan dengan berbagai alasan. Indikasinya, sebagian besar pasar modern tidak memiliki IUPM dari pemerintah pusat. “Untuk masalah zonasi, Pemda diberi waktu tiga tahun untuk menyusun rencana umum tata ruang wilayah (RUTRW) yang mengacu kepada Undang-Undang Tata Ruang,” kata Ardiansyah Parman, Dirjen Perdagangan Dalam Negeri, Depdag.

Akan Mati Semua
Penandatanganan Perpres berlangsung setelah PT Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk melepas bisnis ritelnya, dengan menjual seluruh kepemilikan sahamnya di PT Alfa Retailindo Tbk pada 5 Oktober 2006, dan di PT Sumber Alfaria Trijaya 15 Desember 2006. Ribuan outlet Alfamart dan Alfamidi tersebar di kawasan pemukiman warga, belum termasuk Alfa Rabat sekelas supermarket sebanyak 29 buah.

Setelah itu muncul kabar raksasa ritel asal Perancis PT Carrefour Indonesia sepakat untuk membeli 75 persen saham Alfa Ratailindo, dengan menyasar supermarketnya. Nota kesepahaman pembelian saham ditandatangani di Singapura 17 Desember 2007, dilanjutkan negosiasi pembelian saham pada 6 Januari 2008, menjadikan Carrefour berpotensi memonopoli usaha ritel sebab tampil sebagai market leader dan price leader.

Apabila pembelian saham Alfa benar-benar terjadi, maka, langkah perubahan Alfa Rabat menjadi Carrefour akan sama persis mengikuti jejak perubahan Hero menjadi Giant, atau supermarket Matahari menjadi Hypermart.

more.....

sumber artikel :
- http://www.google.co.id
-http://titik.dagdigdug.com/?p=26