Sabtu, 08 Mei 2010

Persaingan Pasar Tradisional Dengan Pasar Modern



Berbeda dengan pasar modern, pasar tradisional sejatinya memiliki keunggulan bersaing alamiah yang tidak dimiliki secara langsung oleh pasar modern. Lokasi yang strategis, area penjualan yang luas, keragaman barang yang lengkap, harga yang rendah, sistem tawar menawar yang menunjukkan keakraban antara penjual dan pembeli merupakan keunggulan yang dimiliki oleh pasar tradisional.

Namun, selain menyandang keunggulan alamiah, pasar tradisional memiliki berbagai kelemahan yang telah menjadi karakter dasar yang sangat sulit diubah. Faktor desain dan tampilan pasar, atmosfir, tata ruang, tata letak, keragaman dan kualitas barang, promosi penjualan, jam operasional pasar yang terbatas, serta optimalisasi pemanfaatan ruang jual merupakan kelemahan terbesar pasar tradisional dalam menghadapi persaingan dengan pasar modern.

Ketika konsumen menuntut ’nilai lebih’ atas setiap uang yang dibelanjakannya, maka kondisi pasar pasar tradisional yang kumuh, kotor, bau, dengan atmosfir seadanya dalam jam operasional yang relatif terbatas tidak mampu mengakomodasi hal ini. Kondisi ini menjadi salah satu alasan konsumen untuk beralih dari pasar tradisional ke pasar modern. Artinya, dengan nilai uang yang relatif sama, pasar modern memberikan kenyamanan, keamanan, dan keleluasaan berbelanja yang tidak dapat diberikan pasar tradisional.

Kondisi ini diperburuk dengan citra pasar tradisional yang dihancurkan oleh segelintir oknum pelaku dan pedagang di pasar. Maraknya informasi produk barang yang menggunakan zat kimia berbahaya serta relatif mudah diperoleh di pasar tradisional, praktek penjualan daging oplosan, serta kecurangan-kecurangan lain dalam aktifitas penjualan dan perdagangan telah meruntuhkan kepercayaan konsumen terhadap pasar tradisional.

Belum lagi kenyataan, Indonesia adalah negara dengan mayoritas konsumen berasal dari kalangan menengah ke bawah. Kondisi ini menjadikan konsumen Indonesia tergolong ke dalam konsumen yang sangat sensitif terhadap harga. Ketika faktor harga rendah yang sebelumnya menjadi keunggulan pasar tradisional mampu diruntuhkan oleh pasar modern, secara relatif tidak ada alasan konsumen dari kalangan menengah ke bawah untuk tidak turut berbelanja ke pasar modern dan meninggalkan pasar tradisional.

Ancaman Pasar Modern Terhadap Pasar Tradisional

Eksistensi pasar modern di Indonesia mengalami perkembangan yang sangat pesat. Menurut data yang diperoleh dari Euromonitor (2004) hypermarket meru-pakan peritel dengan tingkat pertumbuhan paling tinggi (25%), koperasi (14.2%), minimarket / convenience stores (12.5%), independent grocers (8.5%), dan su-permarket (3.5%).

Selain mengalami pertumbuhan dari sisi jumlah dan angka penjualan, peritel modern mengalami pertumbuhan pangsa pasar sebesar 2.4% pertahun terhadap pasar tradisional. Berdasarkan survey AC Nielsen (2006) menunjukkan bahwa pangsa pasar dari pasar modern meningkat sebesar 11.8% selama lima tahun terakhir. tiga tahun terakhir. Jika pangsa pasar dari pasar modern pada tahun 2001 adalah 24.8% maka pangsa pasar tersebut menjadi 32.4% tahun 2005. Hal ini berarti bahwa dalam periode 2001 – 2006, sebanyak 11.8% konsumen ritel Indonesia telah meninggalkan pasar tradisional dan beralih ke pasar modern.

Keberadaan pasar modern di Indonesia akan berkembang dari tahun ke tahun. Perkembangan yang pesat ini bisa jadi akan terus menekan keberadaan pasar tradisional pada titik terendah dalam 20 tahun mendatang. Pasar modern yang notabene dimiliki oleh peritel asing dan konglomerat lokal akan menggantikan peran pasar tradisional yang mayoritas dimiliki oleh masyarakat kecil dan sebelumnya menguasai bisnis ritel di Indonesia.

Untuk mengantisipasi hal tersebut perlu adanya langkah nyata dari pedagang pasar agar dapat mempertahankan pelanggan dan keberadaan usahanya. Para pedagang di pasar tradisional harus mengembangkan strategi dan membangun rencana yang mampu memenuhi kebutuhan dan tuntutan konsumen sebagaimana yang dilakukan pasar modern. Jika tidak, maka mayoritas pasar tradisional di Indonesia beserta penghuninya hanya akan menjadi sejarah yang tersimpan dalam album kenangan industri ritel di Indonesia dalam waktu yang relatif singkat. (*)Pertarungan sengit antara pedagang tradisional dengan peritel raksasa merupakan fenomena umum era globalisasi. Jika Pemerintah tak hati-hati, dengan membina keduanya supaya sinergis, Perpres Pasar Modern justru akan membuat semua pedagang tradisional mati secara sistematis.
Hanya tinggal menunggu waktu pasar tradisional akan mati oleh pasar modernSetelah tertunda 2,5 tahun, Peraturan Presiden (Perpres) No 112 Tahun 2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan, serta Toko Modern (biasa disebut Perpres Pasar Modern), akhirnya ditandatangani oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 27 Desember 2007 lalu.

Enam pokok masalah diatur dalam Perpres yaitu definisi, zonasi, kemitraan, perizinan, syarat perdagangan (trading term), kelembagaan pengawas, dan sanksi. Soal zonasi atau tata letak pasar tradisional dan pasar modern (hypermart), menurut Perpres, disusun oleh Pemerintah Daerah (Pemda). Ini membuat pemerintah pusat terkesan ingin “cuci tangan”, mengingat tata letak justru merupakan persoalan krusial sebab tak pernah konsisten dipatuhi, yang lalu membenturkan keduanya. Pendirian Carrefour di kawasan CBD Ciledug, Kota Tangerang, Banten, misalnya. Awalnya Carrefour Ciledug ditolak keras oleh semua pedagang tradisional di sekelilingnya, tetapi pada akhirnya bisa beroperasi dengan mulus persis menjelang Natal 2007.

Pengalihan kewenangan mengeluarkan Izin Usaha Pasar Modern (IUPM) ke Pemda, memungkinkan pasar tradisional selalu dikorbankan dengan berbagai alasan. Indikasinya, sebagian besar pasar modern tidak memiliki IUPM dari pemerintah pusat. “Untuk masalah zonasi, Pemda diberi waktu tiga tahun untuk menyusun rencana umum tata ruang wilayah (RUTRW) yang mengacu kepada Undang-Undang Tata Ruang,” kata Ardiansyah Parman, Dirjen Perdagangan Dalam Negeri, Depdag.

Akan Mati Semua
Penandatanganan Perpres berlangsung setelah PT Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk melepas bisnis ritelnya, dengan menjual seluruh kepemilikan sahamnya di PT Alfa Retailindo Tbk pada 5 Oktober 2006, dan di PT Sumber Alfaria Trijaya 15 Desember 2006. Ribuan outlet Alfamart dan Alfamidi tersebar di kawasan pemukiman warga, belum termasuk Alfa Rabat sekelas supermarket sebanyak 29 buah.

Setelah itu muncul kabar raksasa ritel asal Perancis PT Carrefour Indonesia sepakat untuk membeli 75 persen saham Alfa Ratailindo, dengan menyasar supermarketnya. Nota kesepahaman pembelian saham ditandatangani di Singapura 17 Desember 2007, dilanjutkan negosiasi pembelian saham pada 6 Januari 2008, menjadikan Carrefour berpotensi memonopoli usaha ritel sebab tampil sebagai market leader dan price leader.

Apabila pembelian saham Alfa benar-benar terjadi, maka, langkah perubahan Alfa Rabat menjadi Carrefour akan sama persis mengikuti jejak perubahan Hero menjadi Giant, atau supermarket Matahari menjadi Hypermart.

more.....

sumber artikel :
- http://www.google.co.id
-http://titik.dagdigdug.com/?p=26

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Menurut saya masyarakat kalangan bawah lebih memilih pasar tradisional karena masyarakat dapat tawar menawar