Rabu, 23 Desember 2009
Nasib Orangutan
Oleh Rondang Siregar & Titania Febrianti
Foto oleh Tantyo Bangun
Rambut boleh sama lebat, tetapi orangutan kalimantan bukanlah domba yang senang beriringan atau berkumpul mencari kehangatan. Orangutan laksana elang yang terbang sendirian: penyendiri, soliter, itulah jati dirinya. Oleh karena itu, bukanlah hal yang menyenangkan saat melihat puluhan kera besar kemerahan itu berebut bebuahan, saling bertumpuk menenggelamkan panggung kayu di tengah hutan, seperti dua tim bola rugbi yang unjuk kemampuan. Namun, maklumlah. Mereka itu bukan orangutan penguasa hutan. Mereka adalah orangutan yang sudah sekian lama menerima kehangatan peradaban kerabatnya, manusia, sebagai binatang peliharaan yang—bagi yang beruntung—dimanja laksana kucing kesayangan.
Drama ala pemain rugbi itu tidaklah terjadi di tengah rimba perawan meski pepohonan tumbuh subur dalam “sekolah hutan” di Kalimantan itu, tempat orangutan ditempa kembali naluri alamiahnya. Setelah disita atau diserahkan secara sukarela, primata-primata itu diperkenalkan kembali dengan sifat-sifat liarnya (direhabilitasi istilahnya), lalu ditampung dalam lokasi penantian—salah satunya sekolah hutan—sebelum dilepaskan kembali ke alam liarnya.
“Sejauh ini ada sekitar 1.200-an orangutan yang menunggu untuk dilepasliarkan di Pulau Kalimantan,” ujar Sri Suci Utami Atmoko, peneliti dari Asosiasi Pemerhati dan Ahli Primata Indonesia. Angka itupun belum mencakup jumlah orangutan yang ada di pusat rehabilitasi di Pulau Sumatra.
Sekilas, angka yang disebut Suci bisa jadi ukuran yang menggembirakan bagi orangutan yang berdasarkan warta survei lengkap terakhir dalam PHVA (Population and Habitat Viability Assessment) 2004 berjumlah 6.600-7.300 ekor di Sumatra dan sekitar 54.000 ekor di Kalimantan. Betapa giat dan aktifnya upaya menghentikan spesies yang dilindungi ini sebagai binatang peliharaan. Ribuan orangutan disita dari masyarakat dan pasar-pasar gelap. Orangutan selundupan yang sudah sampai di berbagai negara dibawa pulang.
Di sisi lain, ribuan orangutan di hutan singgah juga jadi isyarat adanya persoalan-persoalan lain. Luas hutan singgah harus ditambah agar para penghuninya dapat belajar menjadi orangutan liar kembali. “Namun semakin lama area ini pun semakin penuh,” ujar Dhany Sitaparasti yang meneliti perilaku orangutan pada pusat rehabilitasi yang berlokasi di Kalimantan Timur.
Kesulitan mengembalikan orangutan eks peliharaan ke alam liar atau reintroduksi bertambah karena terus berkurangnya habitat yang memenuhi syarat. Pembukaan hutan untuk perkebunan sawit secara besar-besaran terjadi di Kalimantan. Pembukaan hutan untuk perkebunan, tambang, juga transmigrasi yang tak baik pengelolaannya dan tidak memperhitungkan tata ruang membuka lebar akses manusia untuk masuk lebih jauh ke dalam hutan. Akibatnya, siklus perdagangan gelap satwa liar dapat kembali berputar. Itu belum menghitung peristiwa kebakaran hutan Kalimantan yang pada 1997-1998 misalnya yang melumat hampir lima juta hektare rimba dan membunuh sepertiga populasi orangutan kalimantan.
Perubahan-perubahan fungsi lahan tentu saja berimbas pada pencarian habitat yang cocok bagi pelepasliaran orangutan eks peliharaan. Menurut Barita Manullang, seorang ahli ekologi primata, kalaupun ada, tak semua hutan cocok untuk pelepasliaran. Yang pasti, hutan yang sudah punya penduduk asli—orangutan tentunya—tertutup rapat bagi pendatang—orangutan juga. Larangan itu sesuai dengan panduan IUCN (International Union for Conservation of Nature) agar ekosistem yang sudah ada tidak “rusak” oleh kaum pendatang.
Susahnya, hutan yang tak punya penduduk orangutan asli pun belum tentu bisa jadi rumah baru bagi kerabatnya yang eks peliharaan. ”Harus ada penelitian lebih jauh yang menyatakan sebab ketiadaan atau punahnya populasi lokal. Apakah karena diburu manusia atau akibat penyakit lokal,” ungkap Barita.
Tantangan yang tidak lebih ringan dalam meliarkan kembali orangutan di hutan ternyata datang dari dalam. Yaitu dari orangutan-orangutan eks peliharaan itu sendiri yang enggan memeluk kembali jati dirinya dan juga penanganan proses rehabilitasi dan reintroduksinya (keterangan cakupan lokasi daerah ini ada di halaman 100). Cerita dari masalah yang seperti ini terjadi pada program yang berlangsung antara tahun 2000 hingga 2002. Saat itu, empat puluh ekor orangutan belia siap dilepas kembali, dan setelah menempuh perjalanan selama lebih dari tujuh jam menumpang truk dan helikopter, tibalah primata-primata itu di jantung hutan Pegunungan Meratus Kalimantan Timur. Di sana, peleton kera besar tersebut pun dibagi dua, Gauri dan 15 rekannya termasuk Victor mendapat tempat di suatu areal dengan tempat berteduh sebuah kandang berukuran sekitar dua kali delapan meter yang berjarak kurang dari satu kilometer dari kamp tempat para peneliti, teknisi lapangan, dan staf bermarkas. Dalam jarak 2,6 kilometer dari markas peneliti, 24 orangutan lainnya ditampung dalam kandang yang berbeda.
Sebelumnya, evaluasi akhir selama satu-dua bulan–bahkan ada yang dilakukan selama 12 bulan—telah ada di tangan para peneliti, seperti data perilaku hingga kesehatan. Itulah yang menjadi pegangan apakah orangutan berumur lima hingga tujuh tahun yang telah kehilangan induk siap untuk pulang ke habitat asli mereka.
Saat pintu kandang Gauri dan rekan-rekannya dibuka, nyatalah bahwa frase “kembali ke alam” hanya gampang ditulis, bukan dipraktikkan. Ada orangutan yang langsung melesat keluar, berjalan di tanah, dan menjauhi keramaian. Menggembirakan! Beberapa lainnya menyambar tali—yang memang disediakan—lalu memanjatinya untuk mencapai pohon terdekat. Namun, ada pula orangutan yang melesat keluar, lalu berlari untuk memeluk kaki staf peneliti. Bahkan, ada yang memohon untuk digendong manusia-manusia yang sudah berniat untuk tidak memanjakannya.
Itulah ironi di hari awal pelepasliaran. Orangutan memohon untuk tetap jinak. Sebaliknya, manusia yang satu spesies dengan yang memaksa kera itu agar menjadi “kucing rumah” dahulu, kini memaksa mereka untuk menjadi makhluk yang liar. Menjelang petang, Gauri dan seluruh rekannya memutuskan untuk tinggal di atas kandang memandangi manusia-manusia beranjak pergi. Hutan yang luas tampak tidak (belum) menarik bagi mereka. Di lokasi kedua, 14 orangutan telah lari menghilang sementara 10 sisanya masih bersikukuh di kandang.
Itu hari pertama, harapan masih memenuhi hati para peneliti. Mereka toh memilih metode soft release, yaitu satwa yang dalam proses pelepasliaran masih tetap diberi pakan tambahan hingga dinilai mampu mencari makan sendiri, juga dipantau. Ini berbeda dari metode kedua dalam panduan Reintroduction Specialist Group (RSG)-IUCN yaitu hard release di mana satwa dilepasliarkan tanpa diberi makanan tambahan sama sekali, juga tanpa diikuti.
Satu bulan setelah itu, masih tersisa 13 orangutan di kandang Gauri. Ada beberapa yang menyerah untuk menjadi liar kembali, entah karena takut atau tidak mampu. Yang jelas peneliti yang mengawasi secara intensif menemukan bahwa orangutan itu tiada memperlihatkan usaha untuk menjadi liar, dan juga mengalami luka.
Kandang kedua lebih menjanjikan karena orangutan yang masih terlihat rata-rata berada di atas pohon dan tidak terlalu peduli pada ada tidaknya makanan tambahan. Orangutan-orangutan itu lebih banyak memilih pohon berdiameter kurang dari 10 sentimeter dan peneliti menduga, itu akibat kebiasaan memanjati jeruji kandang yang kecil. Tidak masalah. Yang paling penting mereka berada di atas pohon, seperti orangutan liar.
Perilaku orangutan yang dinilai dapat beradaptasi dengan baik akan menjadi “model” bagi orangutan yang masih dalam program rehabilitasi. Program pelatihan dapat dimodifikasi sehingga dapat mencapai atau mendekati perilaku orangutan yang “sukses”, yaitu perilaku yang mirip atau sama dengan orangutan liar yang mampu mencari makanan hutan termasuk makan dengan cukup, membuat sarang untuk istirahat dan tidur, berinteraksi sosial dengan baik dengan sesama orangutan, termasuk tahu bagaimana menghindari pemangsa.
Empat bulan setelah pelepasliaran, Gauri dan Victor menghilang. Sebulan setelah menghilang, Gauri ditemukan oleh asisten peneliti tidak jauh dari kandang singgahnya. Kondisi tubuh Gauri lemah dan tampak ketakutan. Selama dua hari kondisi Gauri tidak membaik, hanya duduk diam di sekitar kandang dan makan seadanya dari tanaman-tanaman di sekelilingnya. Akhirnya, peneliti mengizinkan Gauri untuk ikut ke kamp agar dapat diperiksa kesehatannya, juga untuk diberi tambahan vitamin. Selang sepekan kemudian, Victor ditemukan sekitar satu kilometer dari kandang singgahnya dahulu. Dia tengah bermain di tanah, dan begitu melihat tim peneliti, Victor langsung minta digendong oleh salah satu staf. Masih jinak.
Gauri yang hingga sekitar 120 hari kehidupannya di hutan Meratus masih tetap mendekap sifat jinaknya adalah anak orangutan pertama yang dipantau kemudian diketahui mati setelah pelepasliaran dilakukan. Hasil nekropsi menunjukkan bahwa Gauri keracunan makanan, mengidap pneumonia (paru-paru basah), radang hati, dan radang lambung. Lambung Gauri nyaris kosong dan juga dipenuhi oleh gelembung-gelembung stres. Sama seperti manusia, orangutan juga bisa mengalami stres, dan akibatnya bisa mematikan.
Gauri jelas bukanlah contoh sukses program rehabilitasi dan reintroduksi yang berdasarkan RSG-IUCN punya dua ukuran, yaitu kemampuan bertahan hidup dan kelanjutan bereproduksi. Pada kasus monyet golden lion tamarin asal Brasil misalnya, sukses program tersebut diukur lewat pengamatan jangka panjang yang membuahkan data individu yang lengkap, baik tentang jumlah yang di lepasliarkan, yang bertahan hidup, mati dan yang akhirnya bereproduksi.
Kalimantan Timur memiliki dua lokasi pelepasliaran orangutan, yaitu hutan lindung Sungai Wain dan hutan Gunung Meratus. Data Wanariset Orangutan Reintroduction Project (WORP) memperlihatkan, hingga tahun 2003 sudah sekitar 400 anak orangutan dilepasliarkan di kedua hutan tersebut, termasuk 63 orangutan liar yang ditranslokasi atau dipindahkan akibat kebakaran hutan 1997-1998. Beberapa ekor orangutan yang pernah dilepaskan di hutan Sungai Wain juga terpaksa dipindahkan ke hutan Meratus karena beberapa kali mencoba untuk keluar dari kawasan hutan dan mengganggu penduduk yang tinggal di sekitar areal pelepasan.
Secara keseluruhan, hasil penelitian mengungkapkan bahwa 92 persen orangutan yang dilepasliarkan ke hutan Meratus sejak 1997 tidak diketahui nasibnya. Dapat diartikan, orangutan-orangutan itu mati atau hilang, kecuali mereka muncul kembali. Adapun total kematian yang pasti tercatat sebesar 3,5 persen dan orangutan yang diketahui berhasil berkembang biak sebanyak 0,3 persen dari total betina yang dilepasliarkan.
Sepanjang penelitian hingga 2003, hanya 14 ekor orangutan yang muncul kembali dan itu cuma 4,1 persen dari total yang dilepasliarkan. Survei 2004 menemukan sarang orangutan dan pertemuan langsung dengan orangutan—dari kelompok yang dilepasliarkan jauh sebelum Gauri—dan mereka menyebar cukup jauh dari lokasi pertama tempat mereka dilepas.
WORP mencatat, hingga 2009 ada 20 ekor orangutan hasil pelepasliaran yang terlihat, tetapi tidak dapat dipastikan apakah kera-kera itu adalah orangutan yang sama dengan yang dilihat pada tahun 2004. Pasalnya, tim survei dan teknisi yang bekerja sudah berganti dan tidak ada dokumentasi hasil pengamatan jangka panjang. Namun setidaknya, ada orangutan yang dapat bertahan hidup setelah dilepasliarkan selama 12 tahun sejak pelepasliaran pertama tahun 1997.
Sayang, tidak ada dokumentasi yang lengkap dari setiap proyek pelepasliaran yang dimulai hampir 20 tahun lampau itu. Padahal menurut Barita, indikator keberhasilan dari suatu usaha pelepasliaran spesies vertebrata besar baru bisa dipastikan lewat pengamatan jangka pendek selama 25 tahun ditambah pengamatan jangka panjang selama 50 tahun. “Tidak mudah memang karena memerlukan dana yang besar, juga komitmen warga sekitar hutan dalam mendukung program tersebut,” ujar Barita.
Mengubah sifat orangutan peliharaan dari jinak menjadi liar yang sama sekali tidak semudah membalikkan telapak tangan itu menambah gambaran betapa tidak bijaksananya membawa satwa tersebut ke dalam rumah. Memelihara bayi orang utan mungkin tampak menyenangkan karena anak orangutan hingga usia lima tahun sangatlah berpolah lucu. Namun, banyak orangutan yang lebih besar dipelihara di kandang karena tenaganya cukup besar dan mulai punya sifat merusak. Di kandang, orangutan yang stres akan berperilaku aneh seperti membentur-benturkan badan ke jeruji kandang, memeluk diri sendiri terutama bila takut atau diganggu, berulang kali mengangguk-anggukkan kepala, dan masih banyak lagi perilaku aneh lainnya.
Para peneliti menemukan, proses menjadi liar pun akan menjadi sulit dan berjalan sangat lambat. Pada orangutan yang sudah terbiasa hidup dengan nyaman saat dipelihara oleh manusia, bakal lebih sukar lagi prosesnya. Kemampuan anak-anak orangutan dalam beradaptasi di hutan yang sangat bervariasi akhirnya disebut peneliti dengan istilah daerah “abu-abu”. Oleh karena itulah, berbagai “pelatihan” untuk menjadi binatang liar merupakan hal yang sangat penting dalam program rehabilitasi anak-anak orangutan. Pelatihan itu mencakup pengenalan jenis-jenis pohon pakan, cara membuat sarang, gaya hidup yang sebagian besar dilakukan di atas pohon, interaksi dengan orangutan lain, serta sikap-sikap yang harus diambil saat mereka menghadapi pemangsa.
Penelitipun sampai pada kesimpulan, bahwa pengenalan dedaunan dan ranting untuk membuat sarang serta hal-hal alami yang nantinya akan ditemukan di hutan lebih berguna daripada benda-benda buatan yang berbau manusia seperti selimut, mainan anak kecil, bahkan boneka, yang selama ini lebih sering diperkenalkan kepada anak-anak orangutan.
Sesungguhnya, bukan sekadar sulitnya mengembalikan sifat liar yang membuat memelihara anak orangutan menjadi tidak bijaksana. Berbagai penelitian mengisyaratkan bahwa satu ekor anak orangutan yang dijual di pasar gelap bermakna adanya satu ekor induk yang harus dibunuh. Pasalnya, di alam, anak orangutan akan melekat pada induknya hingga mencapai usia lima tahun. Selama dua tahun setelah itu, si anak pun tidak pernah berani bermain jauh-jauh dari sisi sang induk. Karena sepanjang hidupnya seekor orangutan betina dapat melahirkan dua hingga tiga ekor bayi, kematian seekor induk juga bermakna punahnya peluang kehadiran dua hingga tiga orangutan baru. Dalam laporannya di tahun 2002, Mark Leighton dari Harvard University menyatakan, kematian satu persen orangutan betina di alam per tahun cukup untuk membuat populasi spesies tersebut melorot.
Dua tahun silam, Departemen Kehutanan menerbitkan Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Orangutan Indonesia. Dalam publikasi itu, terinci berbagai rencana kegiatan yang melibatkan berbagai pihak. Mulai dari masyarakat, para pemegang hak pengusaha hutan, pertambangan, hingga Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. Disebutkan pula bahwa kegiatan rehabilitasi dan reintroduksi orangutan ditargetkan selesai pada 2015.
Sayang, menurut Suci, hingga kini survei menunjukkan, bahwa hutan-hutan yang tersedia untuk pelepasliaran biasanya tidak layak bagi habitat orangutan. Hal ini diakibatkan oleh pohon pakan yang tidak cukup, ketinggian lahan yang tidak ideal bagi kehidupan orangutan yang seharusnya ada di dataran rendah, hingga hadirnya pemburu-pemburu sarang walet di dalam hutan tersebut. Pemburu dan pembalak jelas merupakan ancaman bagi orangutan yang hendak dilepasliarkan. Citrakasih Nente, seorang dokter hewan yang turut terlibat dalam program rehabilitasi orangutan di Kalimantan hingga paruh awal 2009 mengenang, sejak 2002—tahun terakhir pelepasliaran orangutan di hutan Gunung Meratus—dia berkali-kali merawat orangutan yang merupakan hasil pelepasliaran.
Pasalnya, kera-kera itu dibawa ke kantornya di pusat rehabilitasi dengan luka tembak dan luka bacok. Itu terus berlangsung hingga 2006, saat pembalakan liar marak di Meratus. Tahun-tahun berikutnya keadaan semakin membaik. “Setelah itu, sudah jarang orangutan yang datang dengan luka seperti itu,” jelas Citra.
Berbagai persoalan, perdagangan liar dan pemeliharaan ilegal, pembalakan liar, perburuan, dan perubahan lingkungan memang membuat masa depan orangutan tidaklah terlihat indah. “Mungkin ada orang yang berpikir, untuk apa kita memikirkan orangutan. Tapi kami ingin, orangutan itu memiliki kesempatan yang sama dengan orangutan yang kita lihat di alam liar. Kami ingin orangutan eks rehabilitasi punya kehidupan yang alami,” ujar Suci.
“Namun ingat, rehabilitasi bukanlah solusi,” lanjutnya penuh penekanan. Seperti halnya Barita, ia mengatakan bahwa hal yang paling penting adalah menjaga apa yang sudah ada di alam. “Seperti Taman Nasional Gunung Leuser di Sumatra. Populasi orangutan yang ada di sana sudah sangat bagus. Yang sekarang perlu diperhatikan adalah bagaimana caranya agar luasan taman nasional itu tetap terus terjaga,“ papar Suci.
Mengambil anak orangutan dari induk mereka bisa jadi terlihat “mudah”. Namun, usaha pelepasliaran kembali ke alam membutuhkan usaha yang amat keras. Itulah usaha agar orangutan tidak sekadar dikenal di kebun binatang atau bahkan dalam ensiklopedia.
referensi :
http://nationalgeographic.co.id/feature/117/nasib-orangutan
http://saudaratua.files.wordpress.com/2009/10/orangutan.jpg
Coelacanth, Ikan Bertangan
Tak butuh waktu lama untuk sebuah kejutan langka, seperti dialami peneliti oseanografi LIPI, Augy Syahailatua, ketika bersama peneliti lain melihat langsung keberadaan ikan purba coelacanth. Kejutan itu terjadi pada siang hari tanggal 27 Juni 2007 di Malalayang, Teluk Manado, Sulawesi Utara. Siang terik itu kapal kayu peneliti baru sekitar 30 menit bergerak dari pantai Kota Manado. Kurang 500 meter dari tepian pantai, wahana bawah laut tanpa awak (remotely operated vehicle/ROV) menangkap obyek utama penelitian ikan coelacanth. Data ROV mencatat, obyek berada di kedalaman 190,2 meter hingga 195 meter.
Kenapa disebut beruntung dan terkejut? Berdasarkan catatan resmi survei biologi museum ilmu kelautan Aquamarine Fukushima, Jepang, pihak yang getol meneliti coelacanth, itulah satu-satunya perjumpaan pada survei lapangan periode 27 Juni-12 Juli 2007. Dari 92 kali pengoperasian ROV (total waktu penyelaman 54 jam 55 menit), hanya terjadi satu perjumpaan selama 32 menit tersebut.
Secara total, ROV yang dibawa tim Aquamarine Fukushima telah merekam delapan kali perjumpaan pada periode tahun 2006-2007. Tahun 2008, tak satu perjumpaan pun terjadi. Menemukan keberadaan ikan coelacanth memang tidak mudah. Bahkan, bisa dibilang sulit dan berongkos mahal. Informasi ilmiah menyebutkan, habitat ikan coelacanth berada pada kedalaman lebih dari 180 meter dengan suhu air laut maksimal 18 derajat celsius.
Pada perjumpaan 27 Juni 2007, ROV merekam coelacanth sedang berdiam di mulut goa batuan lava bawah laut. Pergerakan sekaligus sorot lampu ROV tidak mengejutkan coelacanth. Puluhan menit berdiam seperti menggantung di mulut goa, coelacanth kemudian berenang perlahan dan menghilang di antara celah-celah goa.
referensi :
http://www.oseanografi.lipi.go.id/component/content/article/21-berita-koran/755-coelacanth-ikan-bertangan.html
http://www.elasmo-research.org/education/classification/class_images/coelacanth.gif
Senin, 21 Desember 2009
Air Bersih Jakarta
Oleh Titania Febrianti
Foto oleh Reynold Sumayku
Di gang-gang yang sempit di daerah Pademangan Timur Jakarta Utara ini, sedang dijajakan salah satu air termahal di dunia.
“Harganya antara 37 ribu rupiah hingga 75 ribu rupiah per meter kubik. Tak ada orang di dunia yang membayar air 7 Dolar AS per meter kubik,” ujar Firdaus Ali dari Badan Regulator PAM DKI Jakarta saat saya temui di kantornya. Ia mengucapkan kata-kata tersebut dengan perlahan, penuh tekanan.
Warga yang jauh lebih mampu, yang tinggal di perumahan elite di Jakarta Selatan dengan pendapatan puluhan bahkan ratusan kali lipat dari orang-orang Pademangan tak perlu membayar semahal itu. “Paling mahal hanya membayar 9.000 rupiah per meter kubik. Mobilnya dimandiin, motor gedenya dimandiin. Bayangkan betapa sedihnya saya. Padahal itu bidang saya,” lanjut Firdaus.
Jakarta, memang tidak adil, dan ketidakadilan itu datang dari keterbatasan sumber daya air yang mendukung kota ini. Kota yang begitu dahaga ini membutuhkan sekitar 548 juta meter kubik air tawar bersih per tahun, itu hanya untuk kebutuhan rumah tangga, belum termasuk kebutuhan industri, perkantoran dan hotel yang bisa ditambahkan sekitar 30 persen dari angka di atas.
Sayangnya, Jakarta adalah kota yang lebih besar pasak daripada tiang. Tahun 2007, kapasitas produksi air bersih PAM JAYA berjumlah 425 juta meter kubik—masih ada 48.984 kolam renang yang kering tak terisi. Defisit air makin nyata di siang hari, tatkala jumlah penduduk bertambah menjadi 10 hingga 11 juta jiwa akibat pekerja yang berdatangan dari luar Jakarta.
Pada dasarnya, air bersih yang dipasok oleh perusahaan daerah yang sejak 11 tahun silam bermitra dengan swasta PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) dan Aetra Air Jakarta (Dulu Thames PAM Jaya) bersumber dari air permukaan, yaitu dari sungai dan kanal. Namun, masalah menghadang karena tidak semua sumber air permukaan dapat diolah, meski Jakarta punya 13 sungai. Menurut Muzaki, kepala produksi Palyja, mereka dulu punya dua sumber bahan baku air, yaitu Saluran Mookervart serta Saluran Tarum Barat atau Kali Malang. Namun, karena air dari Mookervart dinilai sudah tidak layak menjadi bahan baku sejak 2008, yang jadi andalan tinggal Kali Malang yang mengalirkan air dari Bendungan Jatiluhur Jawa Barat. Kini, sesekali Palyja juga mengambil bahan baku dari Banjir Kanal Barat.
Sedangkan Aetra mengambil air hanya dari Kali Malang. Padahal Kali Malang ini pun adalah saluran terbuka yang melewati tiga sungai, yaitu Bekasi, Cibeet dan Cikarang. Menurut Aetra, mereka mengambil air dari saluran tersebut karena tak ada lagi sungai lain di Jakarta yang lebih layak dari segi kualitas dan kuantitas.
Tidak cukup itu saja, menurut Badan Regulator PAM, Jakarta punya sejumlah permasalahan kunci penyediaan air bersih lainnya, seperti cakupan pelayanan yang tak memadai serta tingkat kehilangan air yang tinggi, hingga mencapai angka 50 persen, akibat pencurian air serta kebocoran pipa.
Dahaga warga Jakarta akan air bersih yang tak terpenuhi ini akhirnya membuat mereka tak punya pilihan selain mengambil air dari perut bumi Jakarta, baik air tanah dangkal, maupun air tanah dalam. Pengambilan air sumur dangkal bukannya tanpa risiko. Dalam pemantauan kualitas air tanah yang dilakukan secara berkala, Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Jakarta sudah mendeteksi bateri koli di 21 sumur dari 74 sampel sumur pantau yang ada di wilayah Jakarta pada tahun 2008. Masalah air tanah ini tak hanya ada di permukaan, namun jauh ke dasar perut Jakarta.
referensi : http://nationalgeographic.co.id/feature/101/air-bersih-jakarta
Kopi, Baik untuk Hati
Beberapa cangkir saja sehari bisa membantu menghentikan pemburukan penyakit lever,'' kata Neal Freedman, peneliti dari Lembaga Kanker Nasional (NCI) AS, yang memimpin riset ini.
Studi ini melibatkan 766 orang. Mereka adalah penderita hepatitis C yang tidak berhasil dengan terapi pengobatan antivirus. Kepada mereka, para peneliti menanyakan, seberapa banyak kopi yang mereka konsumsi setiap hari. Satu cangkir, dua cangkir, atau lima cangkir?
Pada riset yang berlangsung 3,8 tahun ini, ke-766 penderita hepatitis C itu diamati setiap tiga bulan. Dilakukan pula biopsi lever untuk memastikan progresivitas penyakit mereka.
Pada akhir riset, para ahli melihat, penderita hepatitis C kronik dan pengidap penyakit lever tahap lanjut yang minum tiga cangkir kopi atau lebih per hari, maka risiko penyakit mereka mengalami pemburukan menurun 53 persen dibanding penderita yang tidak minum kopi.
Anda tentu bertanya, bagaimana kopi bisa mendatangkan manfaat sebegitu besar bagi lever? Para peneliti pun masih terus mencari jawaban pastinya. Dalam hal ini, ada beberapa dugaan. Salah satunya, asupan kopi mengurangi risiko seseorang terkena penyakit diabetes mellitus tipe dua. Penyakit diabetes memang kerap dikaitkan dengan munculnya penyakit lever. Dugaan lain, asupan kopi telah mengurangi inflamasi (peradangan), penyebab fibrosis dan sirosis pada lever.
Pengaruh baik kopi terhadap lever sebenarnya bukan baru kali ini diteliti. Beberapa studi sebelumnya menunjukkan, kafein mampu menghambat kanker hati pada tikus.
Lantas, bagaimana dengan kafein pada teh, apakah juga bermanfaat? Studi oleh para ahli dari Lembaga Kanker Nasional AS ini menunjukkan, kafein pada teh, baik teh hijau maupun teh hitam, hanya berdampak kecil saja pada lever.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), setiap tahunnya ada tiga sampai empat juta orang di seluruh dunia yang terinfeksi hepatitis C. Sekitar 70 persen dari jumlah itu berkembang menjadi kronik dan di belakang hari bisa menjadi sirosis atau kanker. bbc/wachidah
Sumber :
Rabu, 11 November 2009 pukul 11:00:00
http://www.republika.co.id/
http://www.bioteknologi.lipi.go.id/
http://esktt.files.wordpress.com/2009/07/coffee_beans2_2.jpg
Minggu, 20 Desember 2009
Bumi Baru
"Sepanjang sejarah, hanya ada satu bumi di alam semesta ini. Namun tidak lama lagi, mungkin bakal ada bumi yang lain, dan yang lain, dan yang lain."
Oleh Timothy Ferris
Foto oleh Malcolm Denemark, Florida Today
Manusia perlu waktu ribuan tahun untuk menjelajahi planet kita ini dan ratusan tahun untuk memahami planet-planet tetangga Bumi. Namun di masa sekarang, berbagai dunia baru ditemukan setiap pekan. Sampai saat ini saja, para astronom sudah menemukan lebih dari 370 “eksoplanet,” yaitu dunia yang mengitari bintang di tata surya yang bukan tata surya kita. Banyak di antara planet itu begitu tidak biasa, seakan menegaskan ucapan terkenal ahli biologi JBS Haldane bahwa “alam semesta bukan hanya lebih luar biasa dari yang kita yakini, tetapi lebih luar biasa dari yang dapat kita bayangkan.” Dalam jarak 260 tahun cahaya dari Bumi misalnya, ada “Saturnus panas” yang mirip Ikarus si pemuda nekat yang terbang tinggi mendekati Matahari dengan sayap buatannya dalam legenda Yunani. Si Saturnus panas mengitari bintang induknya dengan begitu cepat sehingga setahun di sana hanya berlangsung kurang dari tiga hari. Pada jarak 150 tahun cahaya, ada "Jupiter panas" nan membara mengelilingi bintang yang lain. Atmosfer luar si Jupiter menyembur membentuk ekor-komet raksasa. Sementara itu, tiga planet gelap ditemukan mengorbit sebuah pulsar—sisa bintang kolosal yang menyusut hingga menjadi inti atom sebesar kota (Bandung? Diameter 10 km) yang beputar pada sumbunya, juga tak terkira jumlah planet yang tersedot ke dalam mataharinya atau terlempar ke luar tata suryanya menjadi “si kelana” yang mengembara dalam kegelapan abadi.
Di tengah eksotika semacam itu, para ilmuwan berhasrat menemukan tanda yang dikenal: planet yang mirip Bumi, planet yang mengorbit bintangnya pada jarak yang tepat—sehingga tidak terlalu panas, tidak terlalu dingin—untuk menopang kehidupan seperti yang kita kenal. Sejauh ini, belum ditemukan planet yang mirip Bumi kita, mungkin karena bentuk bumi-bumi itu tidak mencolok. Melihat planet sekecil dan seredup planet kita di tengah kilauan cahaya bintangnya itu ibarat mencoba melihat seekor kunang-kunang di tengah pesta kembang api; mencoba mendeteksi pengaruh gravitasi planet seperti itu terhadap bintangnya tak ubahnya seperti mendengarkan suara jangkrik pada saat badai puting beliung. Namun, dengan memanfaatkan teknologi hingga ke batas maksimalnya, para astronom dengan cepat tengah menuju hari di mana kita dapat menemukan Bumi yan lain dan menelisik tanda-tanda kehidupan di sana.
Hanya ada 11 eksoplanet yang sudah dipotret, semuanya besar dan terang serta cukup jauh dari bintangnya masing-masing. Sebagian besar eksoplanet lainnya terdeteksi melalui teknik spektroskopi Doppler yang menganalisis cahaya bintang untuk mencari bukti bahwa bintang itu sedikit ditarik maju-mundur oleh tarikan gravitasi planetnya. Dalam beberapa tahun terakhir, para astronom telah menyempurnakan tingkat presisi dari teknik Doppler hingga kini mereka mampu menceritakan apabila suatu bintang melenceng dari lintasan seharusnya dengan kecepatan satu meter per detik—kurang lebih sama dengan kecepatan jalan manusia. Hal itu cukup untuk mendeteksi planet raksasa dalam orbit besar atau planet kecil jika benda antariksa itu sangat dekat dengan bintangnya. Namun, penyempurnaan teknik doppler itu tidaklah cukup untuk planet seperti Bumi dengan jarak yang juga seperti Bumi-Matahari, 150 juta kilometer dari bintangnya. Matahari ditarik keluar dari posisinya oleh Bumi hanya secepat sepersepuluh kali kecepatan orang berjalan kaki, atau kurang lebih sama dengan kecepatan bayi merangkak; para astronom belum mampu mengukur sinyal sekecil itu dari cahaya bintang nun jauh.
Pendekatan lain yang digunakan adalah dengan mengamati sebuah bintang untuk melihat penurunan kecil dan berkala pada kecerahannya. Penurunan itu biasa terjadi apabila planet yang mengelilingi bintang berada di depan dan menghalangi sebagian cahaya bintang tersebut. Diperkirakan, paling banyak 10 persen sistem tata surya memiliki posisi yang membuat gerhana-gerhana mini seperti itu—disebut transit--terlihat dari Bumi. Ini berarti bahwa astronom mungkin harus mengamati banyak bintang dengan sabar untuk menemukan segelintir peristiwa transit. Satelit COROT Prancis yang kini menjalani tahun ketiga dan terakhir dari misi utamanya telah menemukan tujuh eksoplanet yang melakukan transit, salah satunya hanya 70 persen lebih besar daripada Bumi.
Satelit Kepler milik AS merupakan penerus COROT yang lebih ambisius. Diluncurkan dari Cape Canaveral Maret silam, Kepler pada dasarnya adalah sebuah kamera digital besar dengan bukaan (aperture) 0,95 meter dan detektor 95 megapiksel. Satelit itu mengambil foto medan-lebar (wide-field) setiap 30 menit, menangkap cahaya dari 100.000 bintang lebih di sepetak langit antara dua bintang yang benderang Deneb dan Vega. Beberapa komputer di Bumi memantau kecerahan semua bintang itu terus-menerus, memberi tahu manusia jika komputer mendeteksi adanya sedikit peredupan yang mungkin menandai terjadinya transit planet.
Karena peredupan ini dapat terjadi akibat fenomena lain, seperti denyutan cahaya bintang variabel (bintang yang kecerahan cahayanya berubah-ubah) atau akibat adanya bintik-matahari nan besar yang bergerak di permukaan bintang, para ilmuwan Kepler baru mengumumkan kehadiran sebuah planet setelah mereka melihat sekurangnya terjadi tiga kali transit—penantian yang mungkin hanya berlangsung beberapa hari atau minggu bagi planet yang mengorbit cepat di dekat bintangnya, tetapi bertahun-tahun untuk eksoplanet yang mirip bumi. Dengan memadukan hasil Kepler dan pengamatan Doppler, para astronom dapat menghitung diameter dan massa planet yang transit itu. Jika mereka berhasil menemukan planet berbatu seukuran Bumi yang mengorbit di zona layak huni—tidak terlalu dekat bintang sehingga semua airnya menguap, atau terlalu jauh sehingga airnya beku—berarti mereka menemukan tempat yang dianggap para ahli biologi cocok untuk kehidupan.
Tempat berburu planet yang paling baik adalah bintang katai yang lebih kecil daripada Matahari. Bintang seperti itu banyak jumlahnya (tujuh dari 10 bintang terdekat ke bumi adalah bintang katai kelas M), hidupnya panjang dan stabil, memancarkan cahaya yang konstan ke planet yang menampung kehidupan di zona layak huninya, jika ada. Yang terpenting bagi kaum pemburu planet, semakin redup bintang itu, semakin dekat zona layak huninya—bintang katai redup mirip api unggun kecil yang harus didekati pekemah yang ingin mendapat kehangatan—sehingga pengamatan terhadap peristiwa transit dapat dituntaskan lebih cepat. Planet yang sangat dekat bintang juga menyebabkan tarikan gravitasi yang lebih kuat pada bintangnya, membuat kehadirannya lebih mudah dipastikan dengan metode Doppler. Dan memang, planet paling menjanjikan yang ditemukan sejauh ini—“bumi super” Gliese 581 d, massanya tujuh kali Bumi—mengorbit di zona layak huni sebuah bintang katai merah yang massanya hanya sepertiga Matahari.
Jika ditemukan planet seperti Bumi dalam zona layak huni bintang lain, teleskop angkasa khusus yang dirancang untuk mencari tanda kehidupan di sana mungkin kelak dapat memperoleh spektrum cahaya dari tiap planet itu dan menelaahnya untuk mencari tanda-tanda kehidupan yang mungkin ada seperti metana, ozon, dan oksigen di atmosfer, atau mencari efek “tepi merah” yang terjadi ketika tanaman berklorofil memantulkan cahaya merah saat berfotosintesis. Pendeteksian dan analisis cahaya planet itu sendiri secara langsung, yang kecerahannya mungkin sepermiliar bintangnya, sangatlah sulit dilakukan. Namun, saat planet melakukan transit, cahaya bintang yang melewati atmosfernya dapat memberi petunjuk tentang komposisi planet itu yang mungkin dapat dideteksi teleskop.
Di saat menghadapi tantangan besar teknologi dalam soal analisis kimia dari planet yang bahkan tak dapat dilihat, para ilmuwan yang mencari kehidupan ekstraterestrial harus mengingat bahwa mungkin saja bentuk kehidupan itu sangat berbeda dari yang ada di bumi. Ketiadaan tepi merah, misalnya, tidak berarti bahwa suatu eksoplanet yang terestrial (terdiri dari atau memiliki daratan) tak punya kehidupan: kehidupan berkembang di Bumi selama miliaran tahun sebelum tumbuhan darat muncul dan memenuhi daratan. Evolusi biologis sangat tak terduga, sehingga sekalipun kehidupan ada di planet yang sama persis dengan Bumi pada saat bersamaan, kehidupan di sana sekarang ini hampir dapat dipastikan sangat berbeda dengan yang ada di daratan Bumi.
Hal itu seperti yang pernah dinyatakan ahli biologi Jacques Monod, kehidupan berkembang bukan hanya karena kebutuhan—proses hukum alam yang universal—tetapi juga karena kebetulan, akibat berbagai macam kejadian yang tak terduga. Kebetulan telah terjadi beberapa kali dalam sejarah planet kita, dan muncul secara dramatis dalam berbagai kepunahan massal yang menyapu jutaan spesies sehingga menciptakan ruang evolusi bagi bentuk kehidupan baru. Beberapa musibah tersebut tampaknya disebabkan oleh komet atau asteroid yang menabrak Bumi—yang terbaru adalah tabrakan pada 65 juta tahun lalu yang memunahkan dinosaurus dan membuka kesempatan bagi leluhur jauh manusia. Karena itu, para ilmuwan bukan hanya mencari eksoplanet yang mirip dengan Bumi modern, tetapi juga planet yang mirip Bumi di masa lalu atau mungkin pernah seperti Bumi di masa lalu. “Bumi modern mungkin model terburuk yang dapat digunakan untuk mencari kehidupan di luar angkasa,” kata Caleb Scharf, kepala Astrobiology Center Columbia University.
Tidaklah mudah bagi penjelajah terdahulu untuk mengeksplorasi dasar samudra, memetakan sisi belakang Bulan, atau menemukan bukti adanya lautan di bawah permukaan beku bulan-bulan Jupiter, dan pasti tak akan mudah menemukan kehidupan pada planet di tata surya lain. Namun, kini kita punya landasan untuk meyakini bahwa miliaran planet seperti itu pasti ada dan planet itu bukan hanya menjanjikan akan memperluas pengetahuan manusia, tetapi juga kekayaan imajinasinya.
Selama ribuan tahun, pengetahuan umat manusia tentang alam semesta sangat terbatas, sehingga kita mudah mengagungkan imajinasi dan meremehkan kenyataan. (Sebagaimana ditulis seorang filsuf Spanyol Miguel de Unamuno, mistisisme para visioner agama di masa lampau muncul akibat “perbedaan tak tertanggungkan antara besarnya hasrat mereka dengan kecilnya kenyataan.”) Kini, berkat kemajuan ilmu pengetahuan, semakin nyata bahwa kreativitas alam melampaui imajinasi manusia. Maka, akan tersibaklah tirai penutup dunia baru yang tak terhingga jumlahnya dengan ceritanya masing-masing.
referensi :
http://nationalgeographic.co.id/featurepage/122/bumi-baru/1
Dari Rompi Antipeluru hingga Kaki Palsu
Jumlah tumbuhan yang mengandung serat atau selulosa melimpah di Indonesia dan beberapa telah dibudidayakan untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri pulp kertas dan dissolving pulp untuk serat rayon. Selama ini ada sekitar 11 jenis tumbuhan yang dapat dimanfaatkan bahan selulosanya, baik yang berasal dari batang, buah, maupun daun, yaitu pisang abaka, kelapa, kapas, nanas, tami, sisal, flax (Linum usitatissimum), jute, mesta, dan jerami.
- Berbagai produk
Di antara berbagai serat alam yang ditemukan di Indonesia, menurut pakar komposit dari Fakultas Teknik Universitas Indonesia, Prof Dr Tresna P Soemardi, paling tidak dua bahan serat, yaitu pisang abaka dan rami, berpotensi dikembangkan menjadi berbagai produk yang berkualitas dan bernilai tinggi. Serat dari batang pisang abaka (Musa textilis) adalah salah satu spesies pisang yang merupakan tumbuhan asli Filipina, tetapi juga ditemukan sebagai tumbuhan liar di Kalimantan dan Sumatera. Di Filipina serat abaka diolah menjadi benang hingga menjadi pakaian tradisional. Namun, seratnya yang halus dan kuat ini sejak dulu digunakan sebagai bahan baku kertas uang.
- Keunggulan rami
Namun, jika dibandingkan dengan tanaman rami (Boehmeria nivea), abaka tergolong rendah kandungan selulosanya. Abaka mengandung 60-65 persen selulosa, sedangkan rami pada kulit batangnya berisi 80-85 persen selulosa. Adapun kandungan ligninnya jauh lebih rendah dibandingkan abaka, yaitu 1 : 5.
Karena keunggulannya itu, sejak zaman pendudukan Jepang, tahun 1943, rami sudah dikenal bukan hanya untuk tali tambang, tetapi juga bahan pembuatan karung goni. Karung goni kemudian dijadikan pakaian oleh penduduk Indonesia pada masa sulit itu. Tanaman ini memang lebih banyak ditanam masyarakat Indonesia dibandingkan dengan abaka sejak dulu karena keunggulan dalam pemanfaatannya itu. Rami sangat cocok dibudidayakan di wilayah barat Indonesia yang beriklim basah karena tanaman ini memerlukan banyak curah hujan sepanjang tahun.
Menurut penelitian Lembaga Penelitian Tanaman Industri, Bogor, hasil rata-rata 1 hektar adalah sekitar 36 ton batang basah dengan rendemen antara 3,5% dan 4,0% sehingga hasil akhirnya diperkirakan sekitar 1,3 ton per hektar serat kering.
- Semua berguna
Rami sebagai tanaman tahunan di daerah tropis selama ini telah banyak digunakan. Daunnya merupakan bahan kompos dan pakan temak bergizi tinggi. Pohonnya baik untuk bahan bakar, tetapi yang paling bernilai ekonomi tinggi adalah serat dari kulit kayunya. Hampir semua bagiannya dapat digunakan. Akhir-akhir ini beberapa pengusaha, terutama swasta, tertarik dan berusaha mengembangkan rami di Indonesia untuk diambil seratnya itu, antara lain karena pasar terjamin meskipun dalam jumlah terbatas, dan produknya diminati Jepang, Korea Selatan, Hongkong, dan Amerika Serikat.
Serat rami digunakan oleh industri tekstil sebagai subsitusi kapas dan bahan baku pulp kertas. Karena memiliki serat yang panjang, rami sangat potensial untuk dikembangkan menjadi pulp putih serat panjang yang selama ini masih diimpor. Pulp berserat panjang ini digunakan untuk kertas tulis, kertas fotokopi, kertas khusus seperti kertas saring teh celup, kertas dasar stensil, kertas rokok, hingga kertas berharga yang memerlukan ketahanan dan berdaya simpan lama, seperti kertas uang, kertas surat berharga, kertas dokumen, dan kertas peta.
Selain itu, serat rami dengan kandungan selulosa yang tinggi dapat digunakan sebagai bahan baku rayon dan/atau nitroselulosa/NC.
- Bahan peledak
Menurut riset peneliti di Pusat Penelitian dan Pengembangan Industri Pertahanan, selulosa rami merupakan salah satu unsur pokok pembuat bahan peledak dan propelan. Sejak beberapa tahun terakhir ini Tresna, yang mendalami ilmu komposit di Perancis untuk aplikasi pada badan pesawat terbang, mulai mengolah komposit dari serat alam, khususnya serat rami untuk berbagai produk. Pertama, serat rami dianyam menjadi rompi antipeluru.
Belakangan ini bahan rami yang telah diolah menjadi epoksi terbukti layak berdasarkan pengujian untuk digunakan sebagai tabung gas dan kaki palsu. ”Kaki palsu dari bahan rami, lebih lembut sehingga nyaman dipakai dibandingkan dengan serat kaca,” tutur Tresna, yang telah memperoleh paten untuk pembuatan tabung gas dari bahan rami.
Penggunaan bahan rami untuk kaki palsu diharapkan dapat menolong banyak penyandang cacat kaki, yang jumlahnya tergolong tinggi di
Sumber : Kompas Cetak [Yuni Ikawati.]
http://puyo-handicrafts.com/pictures/img_abaca_plant_fiber.jpg
http://www.bioteknologi.lipi.go.id/
Sabtu, 19 Desember 2009
Alam Menginspirasi Teknologi Ramah Lingkungan
Fenomena alam yang biasa saja kerap kali jadi inspirasi bagi peneliti untuk menciptakan teknologi ramah lingkungan. Biopulping adalah salah satunya. Ini adalah meniru proses mikroorganisma pada proses pelapukan untuk digunakan dalam tingkat industri.
Fenomena alam yang biasa saja kerap kali jadi inspirasi bagi peneliti untuk menciptakan teknologi ramah lingkungan. Biopulping adalah salah satunya. Ini adalah meniru proses mikroorganisma pada proses pelapukan untuk digunakan dalam tingkat industri.
Alam sering memberi ide cemerlang bagi hidup manusia. Sebut saja proses pelapukan kayu, ranting, daun atau lainnya. Saat bahan-bahan itu melebur, terjadi pembusukan yang membuatnya hancur bersama alam. Tak ada sampah atau limbah. Bila ditelaah lebih detail, proses tersebut dimotori oleh mikroorganisma.
Mikroorganisma yang terdiri atas sejumlah mikroba membantu proses pelapukan sehingga sampah alam itu terurai, kembali menjadi tanah berupa humus. Hasil kerja mikroorganisma yang sempurna tak menghasilkan polusi tersebut memberi inspirasi pada para ilmuwan kita untuk memanfaatkannya dalam sektor industri.
Industri kertas dan pulp terkenal dengan limbahnya yang sulit diatasi. Limbah ini berasal dari bahan kimia seperti soda api, sulfit dan garam sulfida dalam proses penghilangan kandungan lignin. Bahan kimia inilah yang dianggap sebagai sumber pencemaran lingkungan. Proses penggunaan sulfur mencemari udara dan sudah dilarang di sejumlah negara maju seperti Jerman.
"Di Indonesia tidak semua pabrik kertas mempunyai unit pulping karena diisyaratkan harus mempunyai pengolahan limbah yang investasinya lebih dari 20 persen dari nilai investasi," ujar Bambang Prasetya dalam orasi pengukuhannya sebagai Ahli Peneliti Utama (APU) Bidang Konversi Biomassa di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jakarta, pekan silam.
Pengolahan pulp yang ideal adalah biopulping, yakni mengolah pulp dengan menggunakan bantuan mikroba. Bambang menjelaskan, manfaat biopulping yang menonjol adalah penghematan energi dan pengurangan pemakaian bahan kimia. Proses pembuatan bubur kayu alias pulp dan kertas biasa dilakukan dengan memasak serpihan kayu, jerami atau ampas tebu. Semuanya menggunakan bahan kimia. Tujuan proses ini untuk memisahkan komponen lignin.
Dalam biopulping, bahan-bahan kimia tadi digantikan oleh sejenis mikroba yang bisa mengeluarkan enzim dan mendegradasi lignin. Mikroba ini adalah golongan jamur atau fungi pelapuk kayu yang banyak dijumpai di alam bebas. Bahan pemutih kertas yang selama ini menggunakan bahan kimia seperti chlorite dan hydrogen peroksida dapat digantikan dengan enzim-enzim yang dikeluarkan oleh fungi pelapuk. Beberapa enzim yang sangat dikenal untuk menguraikan lignin adalah manganese peroksidase, laccase dan lignin peroksidase.
"Pengembangan biopulping lebih dari satu dasawarsa terakhir menjadi perhatian di berbagai negara industri karena tehnik ini dianggap sebagai salah satu proses yang ramah lingkungan," ungkap Bambang yang kini menjabat sebagai Direktur Pusat Riset Bioteknologi LIPI ini. Bahkan dari sejumlah analisa, biopulping akan bersaing dengan proses konvensional. Pada penelitian Bambang pada 1994, mikroba jenis P. chrysosporium dapat memperbaiki sifat pulp.
Butuh Waktu
Ada sedikit kekurangan pada biopulping ini dibanding proses konvensional, yakni dibutuhkan waktu lebih banyak dalam operasionilnya. Tapi menurut Bambang, dalam uji coba produksi skala pilot di Amerika tidak ditemukan masalah teknis berarti karena masalah waktu bisa diatur dengan sistem penjadwalan yang baik.
Lebih jauh Bambang memaparkan bahwa biopulping ini hanya satu dari sekian banyak manfaat dari proses pelapukan biomassa. Manfaat lain sebut saja produksi ethanol yang dapat dipakai sebagai bahan bakar minyak pengganti premium.Ini didapat dari proses fermentai secara simultan, yaitu memecah selulosa menjadi gula dan fermentasi gula menjadi ethanol.
Pelapukan jua memberi inspirasi bagi ilmuwan untuk memanfaatkannya sebagai bahan komposit dan pengganti plastik. "Pelapukan pada kayu atau biomassa memberi pengaruh pada mudahnya bahan tersebut dimasuki bahan polimer atau resin, sehingga bisa dimanfaatkan untuk memproduksi bahan seperti wood plastic composite," papar Bambang. Di samping itu jamur pelapuk kayu juga bisa memproduksi plastik dari serat alam.
Sumber : Sinar Harapan (19 September 2005)
Dasar-Dasar Teknologi Biogas
organik oleh bakteri-bakteri anaerob (bakteri yang hidup dalam kondisi kedap udara). Pada umumnya semua jenis bahan organik bisa diproses untuk menghasilkan biogas, namun demikian hanya bahan organik (padat, cair) homogen seperti kotoran dan urine (air kencing) hewan ternak yang cocok untuk sistem biogas sederhana. Disamping itu juga sangat mungkin menyatukan saluran pembuangan di kamar mandi atau WC ke dalam sistem Biogas. Di daerah yang banyak industri pemrosesan makanan antara lain tahu, tempe, ikan pindang atau brem bisa menyatukan saluran limbahnya ke dalam sistem Biogas, sehingga limbah industri tersebut tidak mencemari lingkungan di sekitarnya. Hal ini
memungkinkan karena limbah industri tersebut diatas berasal dari bahan organik yang homogen.
Jenis bahan organik yang diproses sangat mempengaruhi produktifitas sistem biogas disamping parameter-parameter lain seperti temperatur digester, pH, tekanan dan kelembaban udara.
Salah satu cara menentuka bahan organik yang sesuai untuk menjadi bahan masukan sistem Biogas adalah dengan mengetahui perbandingan Karbon (C) dan Nitrogen (N) atau disebut rasio C/N. Beberapa percobaan yang telah dilakukan oleh ISAT menunjukkan bahwa aktifitas metabolisme dari bakteri methanogenik akan optimal pada nilai rasio C/N sekitar 8-20.
referensi : http://www.petra.ac.id/science/applied_technology/biogas98/biogas2.htm
http://i.treehugger.com/images/2007/10/24/biogas%20fuel%20cell-jj-001.jpg