Bagaimana lagi cara memenuhi kebutuhan air bersih di Ibu Kota?
Oleh Titania Febrianti
Foto oleh Reynold Sumayku
Di gang-gang yang sempit di daerah Pademangan Timur Jakarta Utara ini, sedang dijajakan salah satu air termahal di dunia.
“Harganya antara 37 ribu rupiah hingga 75 ribu rupiah per meter kubik. Tak ada orang di dunia yang membayar air 7 Dolar AS per meter kubik,” ujar Firdaus Ali dari Badan Regulator PAM DKI Jakarta saat saya temui di kantornya. Ia mengucapkan kata-kata tersebut dengan perlahan, penuh tekanan.
Warga yang jauh lebih mampu, yang tinggal di perumahan elite di Jakarta Selatan dengan pendapatan puluhan bahkan ratusan kali lipat dari orang-orang Pademangan tak perlu membayar semahal itu. “Paling mahal hanya membayar 9.000 rupiah per meter kubik. Mobilnya dimandiin, motor gedenya dimandiin. Bayangkan betapa sedihnya saya. Padahal itu bidang saya,” lanjut Firdaus.
Jakarta, memang tidak adil, dan ketidakadilan itu datang dari keterbatasan sumber daya air yang mendukung kota ini. Kota yang begitu dahaga ini membutuhkan sekitar 548 juta meter kubik air tawar bersih per tahun, itu hanya untuk kebutuhan rumah tangga, belum termasuk kebutuhan industri, perkantoran dan hotel yang bisa ditambahkan sekitar 30 persen dari angka di atas.
Sayangnya, Jakarta adalah kota yang lebih besar pasak daripada tiang. Tahun 2007, kapasitas produksi air bersih PAM JAYA berjumlah 425 juta meter kubik—masih ada 48.984 kolam renang yang kering tak terisi. Defisit air makin nyata di siang hari, tatkala jumlah penduduk bertambah menjadi 10 hingga 11 juta jiwa akibat pekerja yang berdatangan dari luar Jakarta.
Pada dasarnya, air bersih yang dipasok oleh perusahaan daerah yang sejak 11 tahun silam bermitra dengan swasta PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) dan Aetra Air Jakarta (Dulu Thames PAM Jaya) bersumber dari air permukaan, yaitu dari sungai dan kanal. Namun, masalah menghadang karena tidak semua sumber air permukaan dapat diolah, meski Jakarta punya 13 sungai. Menurut Muzaki, kepala produksi Palyja, mereka dulu punya dua sumber bahan baku air, yaitu Saluran Mookervart serta Saluran Tarum Barat atau Kali Malang. Namun, karena air dari Mookervart dinilai sudah tidak layak menjadi bahan baku sejak 2008, yang jadi andalan tinggal Kali Malang yang mengalirkan air dari Bendungan Jatiluhur Jawa Barat. Kini, sesekali Palyja juga mengambil bahan baku dari Banjir Kanal Barat.
Sedangkan Aetra mengambil air hanya dari Kali Malang. Padahal Kali Malang ini pun adalah saluran terbuka yang melewati tiga sungai, yaitu Bekasi, Cibeet dan Cikarang. Menurut Aetra, mereka mengambil air dari saluran tersebut karena tak ada lagi sungai lain di Jakarta yang lebih layak dari segi kualitas dan kuantitas.
Tidak cukup itu saja, menurut Badan Regulator PAM, Jakarta punya sejumlah permasalahan kunci penyediaan air bersih lainnya, seperti cakupan pelayanan yang tak memadai serta tingkat kehilangan air yang tinggi, hingga mencapai angka 50 persen, akibat pencurian air serta kebocoran pipa.
Dahaga warga Jakarta akan air bersih yang tak terpenuhi ini akhirnya membuat mereka tak punya pilihan selain mengambil air dari perut bumi Jakarta, baik air tanah dangkal, maupun air tanah dalam. Pengambilan air sumur dangkal bukannya tanpa risiko. Dalam pemantauan kualitas air tanah yang dilakukan secara berkala, Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Jakarta sudah mendeteksi bateri koli di 21 sumur dari 74 sampel sumur pantau yang ada di wilayah Jakarta pada tahun 2008. Masalah air tanah ini tak hanya ada di permukaan, namun jauh ke dasar perut Jakarta.
referensi : http://nationalgeographic.co.id/feature/101/air-bersih-jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar