Rabu, 19 Mei 2010

Bumi Kita yang Subur



Oleh Charles C. Mann
Foto oleh Jim Richardson


Sebuah keajaiban elektromekanika yang demikian canggih: Traktor itu dapat berjalan sendiri, dengan navigasi satelit. Aku tinggal duduk santai di tempat yang tinggi dan ber-AC, sementara di bawah kakiku roda besar menggelinding di atas tanah.
Pada suatu hari yang hangat di Bulan September, petani dari berbagai penjuru negara bagian berkumpul di sekitar mesin-mesin raksasa. Mesin panen jenis gabungan (pemotong dan perontok), mesin bandela, mesin ripper, mesin penyiang, mesin garu piring, dan traktor dari berbagai jenis—semuanya ada di pameran tahunan Wisconsin Farm Technology Days. Namun, bintang kali ini adalah mesin-mesin panen raksasa, yang menjulang di tengah keramaian. Namanya mirip mobil sport—Claas Jaguar 970, Krone BiG X 1000—dengan cat secerah kembang api. Satu mesin ini beratnya 15 ton dan rodanya lebih tinggi daripada orang dewasa. Ketika saya mengunjungi Wisconsin Farm Technology Days tahun lalu, perusahaan John Deere mengizinkan pengunjung mencoba traktor 8530-nya, sebuah keajaiban elektromekanika yang demikian canggih sehingga saya tidak tahu cara mengoperasikannya. Tapi itu bukan masalah: Traktor itu dapat berjalan sendiri, dengan navigasi satelit. Aku tinggal duduk santai di tempat yang tinggi dan ber-AC, sementara di bawah kakiku roda besar menggelinding di atas tanah.
Para petani menyeringai saat menyaksikan mesin itu menderu di ladang jagung. Namun, pada jangka panjang, mereka mungkin menghancurkan mata pencariannya. Bunga tanah di daerah Midwest Amerika, salah satu lahan pertanian terbaik di dunia, terdiri atas gumpalan heterogen yang di sela-selanya dipenuhi kantong-kantong udara. Mesin yang besar dan berat seperti mesin panen ini memadatkan tanah basah menjadi lempeng seragam yang nyaris tak bisa ditembus—sebuah proses yang disebut pemadatan. Akar tak bisa menembus tanah padat; air tak bisa meresap ke dalam bumi, sehingga mengalir, mengakibatkan pengikisan. Dan karena pemadatan dapat terjadi jauh di dalam tanah, perlu waktu berpuluh-puluh tahun agar dapat pulih seperti sediakala. Karena menyadari hal ini, perusahaan pembuat mesin pertanian menggunakan ban-ban raksasa di mesin mereka untuk menyebarkan impak. Dan petani menggunakan navigasi satelit untuk membatasi pergerakan kendaraan itu pada jalur tertentu, agar tanah yang lain tak terganggu. Namun, pemadatan jenis ini tetap merupakan masalah serius—setidaknya di negara-negara yang petaninya mampu membeli mesin panen seharga 3,6 miliar rupiah.

Malangnya, pemadatan hanyalah satu keping yang relatif kecil dalam mosaik masalah yang saling terkait yang memengaruhi tanah di seluruh penjuru bumi. Di negara-negara berkembang, tanah yang jauh lebih subur hilang akibat pengikisan dan penggurunan akibat perbuatan manusia, dan secara langsung memengaruhi kehidupan 250 juta jiwa manusia. Dalam kajian pertama—dan tetap yang paling lengkap—tentang penyalahgunaan tanah global, para ilmuwan di International Soil Reference and Information Centre (ISRIC) di Belanda memperkirakan pada 1991 bahwa umat manusia telah mendegradasi hampir 20 juta kilometer persegi tanah kita. Dengan kata lain, spesies kita dengan cepat merusak kawasan seluas gabungan Amerika Serikat dan Kanada.

Defisit pangan yang terjadi tahun ini, yang sebagian disebabkan oleh menurunnya kualitas dan kuantitas tanah dunia (lihat “Miskin Papa", halaman 108), telah menyebabkan kerusuhan di Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Pada 2030, ketika bayi-bayi saat ini sudah memiliki bayi, akan ada 8,3 miliar manusia yang menapaki muka bumi; untuk mencukupi pangannya, Organisasi Pangan dan Pertanian PBB memperkirakan bahwa petani harus menanam biji-bijian hampir 30 persen lebih banyak daripada sekarang. Para pengamat keserampangan manusia akan melihat bahwa sementara manusia meningkatkan permintaannya terhadap tanah, kita malah merusaknya lebih cepat daripada sebelumnya. “Dalam jangka panjang, kita akan kehabisan tanah,” ujar David R. Montgomery, seorang geolog di University of Washington di Seattle.

Sayangnya, degradasi tanah adalah topik yang membosankan bagi banyak orang. Padahal, konsekuensinya—dan juga kesempatan—justru sangat besar, ujar Rattan Lal, ilmuwan tanah terkemuka di Ohio State University. Peneliti dan petani biasa di seluruh dunia menemukan bahwa tanah yang rusak pun bisa dipulihkan. Hasilnya, ujar Tal, adalah kesempatan bukan hanya untuk memberantas kelaparan namun juga memerangi masalah seperti kesulitan air dan bahkan pemanasan global. Bahkan, beberapa peneliti meyakini bahwa pemanasan global dapat dihambat secara signifikan dengan menggunakan cadangan karbon secara besar-besaran untuk merekayasa ulang lahan kritis dunia. “Stabilitas politik, kualitas lingkungan, kelaparan, dan kemiskinan memiliki akar yang sama,” ujar Lal. “Dalam jangka panjang, solusi untuk setiap masalah itu adalah memulihkan sumber daya yang paling dasar, tanah.”

referensi : http://nationalgeographic.co.id/feature/70/bumi-kita-yang-subur

Tidak ada komentar: