Rabu, 19 Mei 2010

Kisah Lima Danau


Oleh Peter E. Hehanussa
Foto oleh Tantyo Bangun


Saya tertegun saat mendengar kabar terbaru: lima danau Malili telah terkepung pembalakan liar.
Saya hanya dapat tertegun saat mendengar kabar terbaru: lima danau Malili telah terkepung kegiatan pembalakan liar. Jalanan tak resmi yang dibuat para pembalak bagaikan urat nadi yang karut-marut, rona yang telah mengacak-acak tutupan yang menghijau pada peta radar terbaru. Kegiatan yang merusak ekosistem penyokong keberadaan kehidupan danau, termasuk tata air di dalamnya, itu semakin mengganas, tanpa memedulikan masa depan.
Di akhir Agustus yang diselimuti awan kumulus, saya dan beberapa rekan akhirnya dapat mengudara. Menumpang pesawat penebar bibit hujan milik PT Inco, perusahaan yang melakukan kegiatan penambangan nikel, di sekitar danau Malili, saya dapat menyaksikan lansekap yang unik. Kombinasi lima danau dengan dikelilingi kawasan berbukit-bukit terjal yang puncaknya mencapai 1.200 meter telah memikat hati saya. Dua lempeng besar, Pasifik dan Asia, yang bergerak horisontal, saling memberikan gaya dorong dan bertemu di sekitar Danau Matano, telah membuat lukisan yang indah. Bukit dengan tegakan menghijau harus diselingi peradaban tepi danau, seperti Larona, Nuha, Matano, dan Sorowako. Awan yang menyelimutinya memang sedikit membuat hati kesal, pandangan menjadi terhalang.
Selama penerbangan itu, kami sibuk melihat ke bagian bawah. Tak ada percakapan. Di kursi yang berada depan saya, Gadis S. Haryani, pimpinan Pusat Penelitian Limnologi – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia yang pernah melakukan penelitian di Danau Matano juga serius mengamati. Kami tercengang ketika pesawat melintasi wilayah datar yang cukup luas, sebagian terbuka, tanpa lindungan tegakan kayu. Bagian yang terbuka itu telah diisi dengan permukiman yang tersusun rapi. Kawasan berada di sisi timur Danau Mahalona itu telah disiapkan sebagai lahan dan permukiman transmigrasi. Kawasan ini menambah keping-keping yang bolong di antara hutan hujan yang ada.

Keterkejutan saya di tahun ini tentu saja berbeda dengan apa yang saya rasakan pada awal 1970-an. Ketika itu, saya menelusuri Sorowako melalui darat bersama dua orang rekan peneliti, yang salah seorang di antaranya berasal dari Amerika Serikat. Kami yang memakai topi pet, pakaian lapangan, sepatu bot, dan tangan menggenggam palu geologi, tertegun melihat singkapan batuan di tebing terjal yang belum selesai dipapas dengan alat berat. Kami memandanginya di tepi jalan raya yang tengah dibangun antara Desa Soroako dan Kota Malili. “Sungguh tak dapat dipercaya!” kami saling berpandangan. Selama di bangku kuliah kami tidak pernah belajar bahwa batuan ultra-basa yang terbentuk di dasar dan tengah laut-dalam dapat berada bersama bahkan campur-aduk dengan batugamping yang terbentuk di laut-dangkal. Saat kami mengamati fenomena tersebut, ilmu geologi baru memasuki periode transformasi fundamental dari konsep geosinklin menjadi tektonik lempeng.
Pada singkapan batuan di depan mata, kami melihat batu gamping yang berwarna putih susu membentuk lensa yang mirip ikan dan diselimuti batuan berwarna gelap, batuan ultra basa. Batuan ultra basa itu tergerus retak-retak, ada yang kecil seukuran bantal kepala tapi ada juga yang besar berukuran rumah T-36. Semua bidang batas batuan ultra basa dan batugamping membentuk permukaan yang licin mengkilat, menandakan telah terjadi penggerusan yang hebat yang tentu digerakkan oleh energi yang sangat-sangat kuat. Di depan mata terekam bagian yang sangat penting dari sejarah pembentukan Bumi, zona tempat pertumbukan antar-lempeng benua, sebuah bukti up-duction.
Peristiwa ini berlangsung hampir bersamaan dengan saat di mana ilmu pengetahuan ikut berperan mendorong perubahan perilaku penduduk dunia yang saat itu makin haus bahkan tanpa kendali mengkonsumsi energi dan mineral bahan baku. Di era awal tahun 1960-an mereka yang percaya pada konsep pesimistik mewahyukan bahwa sebentar lagi dunia akan kiamat, sebab ia telah dekat kepada batas daya dukungnya untuk menyediakan energi dan mineral kebutuhan manusia yang terus meningkat. Namun ada kelompok lain yang mengatakan bahwa daur ulang dan perubahan dalam peri laku manusia mengeksploitasi sumber daya alam dapat menunda terjadinya ‘kiamat’ itu. Batuan campur aduk dengan komposisi aneh di depan mata, inilah salah satu saksi bisu betapa kemanusiaan yang beradab dan humanisitik serta teknologi yang tepat dapat ikut berperan merubah jalannya kehidupan di bumi. Penelitian lapangan yang dilakukan sejak awal tahun 1970-an oleh tim geologi menemukan indikasi upduction pada salah satu singkapan ultrabasik terbesar di dunia, sebuah fenomena yang terbalik dari apa yang ditemui di deretan Pulau Simuelue-Nias-Siberut-Enggano di barat Sumatera dimana terdapat subduction pada pertemuan diantara dua lempeng benua.
***
Dua dekade lalu Soroako hanya sebuah desa kecil nan sepi di tepi Danau Matano. Akan tetapi tempat yang kini namanya telah dikembalikan ke ejaan aslinya menjadi Sorowako telah bertransformasi menjadi kota modern. Sorowako menjadi penopang perekonomian Kabupaten Luwu Timur. Populasi yang mencapai 9.000 jiwa memiliki profesi dan latar belakang berbeda serta saling berbaur. Di sini terjadi melange bukan saja dari asosiasi batuan geologi tetapi juga tradisi dan kultur berbagai penjuru Indonesia dan dunia.
Perubahan itu digerakkan oleh kegiatan penambangan nikel oleh PT Inco yang memulai kegiatan eksplorasi intensif di tahun 1968. Pada masa itu saya bersama-sama Benny Wahyu, rekan saya sejak mahasiswa dan pernah bekerja sebagai geolog senior perusahaan tambang itu mendiskusikan proses produksi komersial nikel yang dimulai pada tahun 1973. Biji nikel ditambang di gunung sebelah selatan Danau Matano, pabrik pemurnian nikel dibangun di timur Sorowako, lalu biji nikel matte hasil konsentrat diangkut dengan truk raksasa ke pelabuhan Malili di sebelah selatan untuk dikapalkan dan diproses lebih lanjut di Jepang.
Biji nikel laterit yaitu konsentrat nikel yang terakumulasi di sebuah lapisan dekat permukaan tanah kini sedang merubah nasib banyak orang di seluruh dunia. Unsur nikel memang diperlukan dalam melengkapi kemajuan teknologi yang melanda dunia, ia adalah bahan campuran ke logam untuk melawan korosi atau karat dalam berbagai peralatan modern dalam kehidupan kita sehari-hari. Bijih nikel laterit adalah lapisan yang terbentuk di dekat permukaan tanah, sisa dari proses pelapukan dan pelarutan batuan ultrabasa selama kurun waktu ribuan tahun. Oleh curah hujan yang tinggi dan iklim yang tepat pada batuan ultrabasa yang retak-retak, maka kebanyakan unsur lain di dalam tanah akan larut dan terangkut pergi bersama aliran air tanah ke lokasi yang lebih rendah. Maka tersisa unsur nikel dan besi yang sukar larut, tertumpuk menjadi lapisan nikel laterit yang berwarna merah-biru kecoklatan yang sukar larut.
Proses alam yang ribuan bahkan ratusan ribu tahun ini kini telah menjadikan nikel sebagai bahan tambang di sekitar Sorowako, ia aktif digali dan diambil dan akan habis dalam waktu seabad. Kota Sorowako yang telah lahir dari nikel, oleh karena itu mesti tetap dan terus eksis juga oleh kekuatan nikel. Nikel akan habis namun kelahiran dan kelanjutan berbagai kegiatan baru sejak kini mesti ditata secara arif sehingga kota ini tidak akan menjadi kota mati saat nikel habis tertambang.

referensi : http://nationalgeographic.co.id/feature/61/kisah-lima-danau

Tidak ada komentar: