Rabu, 19 Mei 2010

Legenda Daisetsuzan


Oleh Gretel Ehrlich
Foto oleh Michael Yamashita

Dua gunung api besar tersemat di taman nasional yang ada di tengah-tengah pulau paling utara Jepang, Hokkaido.
Api dan air berbenturan di Daisetsuzan. Dua gunung api besar tersemat di taman nasional yang ada di tengah-tengah pulau paling utara Jepang, Hokkaido, tersebut. Puncak-puncaknya yang berasap melandai ke lereng yang berhutan, berbantalkan salju, dan terkikis sungai—200.000 hektar dengan warnanya berganti-ganti dari hijau, jingga, merah, dan putih, sesuai musim. Kepulauan Jepang menyeruak dari dalam laut akibat kekejaman seismik. Lempeng-lempeng tektonik menggelincir dan saling menimpa, lapisan batu cadas meleleh dan terkumpul di bawah tanah, gunung api meletus. Asahi Dake, gunung tertinggi di Hokkaido yang tidur selama berabad-abad menjulang di utara.

Tokachi Dake di selatan, terakhir kali meletus pada 2004. Dalam iklim Hokkaido yang dingin dan basah, gunung-gunung api yang dibangun oleh api internal Bumi tertutupi salju dan salju berubah menjadi aliran air yang deras, hutan, lumut, dan bunga. Daisetsuzan berarti “gunung salju yang besar.” Tetumbuhan yang lebat menyebabkan sebagian besar Daisetsuzan tak bisa dimasuki, tetap lestari dengan sendirinya, tidak terganggu, kecuali oleh adanya beberapa jalan setapak. Di negara kepulauan yang padat ini—salah satu negara yang paling padat industri dan paling padat penduduknya di dunia—taman tersebut menyediakan ruang terbuka yang langka, puncak gunung dan hutannya dikelilingi lahan-lahan pertanian yang asri. Taman itu menjadi tempat persinggahan rusa, burung, kelinci, dan beruang, serta pepohonan, semak belukar, dan aneka bunga. Wisatawan Jepang yang menyandang ransel terpesona oleh kemegahan alam tersebut.

Sesekali di musim panas dan gugur, Michiko Aoki, putri seorang pendeta Buddha, mendaki selama delapan jam dan melampaui Asahi Dake, menyeberangi punggung bukit yang berliku, dan turun ke lembah yang jarang ditapaki manusia untuk menemui kekasihnya yang membantu pemantauan beruang cokelat Hokkaido penghuni taman. Pada satu dini hari yang hangat di musim gugur, aku menyertainya. Di saat kami mendekati Asahi Dake, nafas yang bergaung dari lubang-lubang di gunung api itu mengingatkan kami bahwa ada gunung di depan, tetapi karena tersaput awan, Asahi Dake luput dari penglihatan kami. Di permukaan danau Sugatami-ike yang sebening cermin, bercak salju di kejauhan berbaur dengan uap air; alur-alur uap air mengikat Asahi Dake dengan kamuy, ruh suku Ainu yang hidup di segala penjuru.

Di masa ketika gletser sepenuhnya menutupi wilayah tersebut 18.000 tahun silam, Hokkaido dihubungkan dengan Asia oleh jembatan-jembatan darat, bukan dengan Jepang, dan para leluhur masyarakat suku Ainu menyeberanginya untuk mencapai Hokkaido. Segelintir suku asli Ainu masih tersisa, meskipun leluhur mereka telah diusir dan diasimilasi oleh bangsa Jepang. Bagaimanapun, mustahil menikmati sungai dan pegunungan ini tanpa memikirkan cara pandang suku Ainu yang menyakralkan tempat tersebut.

Orang Ainu membagi tanah mereka menjadi lahan-lahan cakupan desa atau iwor, tempat mereka memancing ikan salem, berburu beruang, dan mengumpulkan kayu dan buah buni. Makhluk hidup yang menjaga mereka adalah para dewa yang sedang menyamar, ruh yang mengunjungi dunia fana. Kamuy juga muncul sebagai benda mati: pisau berburu dan rumah bambu. Untuk mengembalikan kamuy ke dunia ruh, suku Ainu menyelenggarakan beberapa ritual dengan menyediakan persembahan berupa makanan dan doa. Upacara utama mereka berupa penghormatan terhadap beruang—sang penyedia makanan, bulu, dan tulang untuk perkakas. Mereka menyebut Asahi Dake sebagai Gunung Nutap-kamui-shir yang berarti “gunung dewa yang mengandung wilayah bagian dalam dari belokan sungai.”

referensi : http://nationalgeographic.co.id/feature/68/legenda-daisetsuzan

Tidak ada komentar: