Rabu, 19 Mei 2010

Hidup Mati Bangsa di Kemudian Hari


Oleh Zen Rahmat Sugito
Foto oleh Feri Latief


Organisasi pimpinan Diouf sudah memperingatkan seriusnya krisis pangan dunia.
Lima orang tewas dalam unjuk rasa memprotes kenaikan harga-harga makanan pokok di Port Au Prince, Haiti, pada April 2008. Selama berunjukrasa, di hadapan pasukan penjaga perdamaian PBB, beberapa demonstran bahkan sampai memakan rumput. Inilah potret sekumpulan orang kelaparan yang tak bisa berbuat apa-apa. Bagi orang kelaparan seperti mereka, pernah Mahatma Gandhi berkata, makanan adalah Tuhan.
“Tak ada yang siap untuk mati kelaparan, alamiah jika mereka bereaksi,” komentar Jacques Diouf, Direktur Jenderal FAO. Organisasi pimpinan Diouf sudah memperingatkan seriusnya krisis pangan dunia. Hingga awal 2008, persentase kenaikan harga bahan pokok secara gobal mencapai angka 75 persen. Harga jagung diperkirakan mencapai angka tertinggi dalam 11 tahun, harga kedelai mencapai yang tertinggi dalam 35 tahun, bahkan harga gandum akan menjadi yang tertinggi dalam sejarah. Dibanding tahun 2000, seluruh harga pangan meningkat hingga 75 persen.

Di Indonesia, pada 27 April 1952 Presiden Soekarno sudah menyebut pangan sebagai “soal hidup mati bangsa kita di kemudian hari”. Di akhir pidatonya, ia bilang: “Politik bebas aktif, prijstop, masyarakat adil dan makmur, men sana in corporesano; semua omong kosong selama kita kekurangan bahan makanan.”

Sebelumnya, pada 1948, Menteri Persediaan Makanan Rakyat IJ Kasimo mencanangkan swasembada pangan melalui rencana yang dikenal sebagai “Kasimo Plan”. Saat menjadi Menteri Perekonomian pada Kabinet Burhanuddian Harahap (1955-1956), ia canangkan lagi swasembada pangan melalui apa yang disebut “Rencana Kemakmuran Kasimo”. Semuanya tak berhasil.

Soeharto sedikit lebih baik. Pencapaian terbaiknya adalah swasembada pangan pada 1984 yang membuatnya diminta memberi pidato kehormatan dalam sidang FAO di Roma setahun kemudian. Soeharto bahkan menyerahkan sumbangan 100 ribu ton beras kepada Ethiopia, jauh lebih banyak dibanding izin impor beras yang dikeluarkan Departemen Perdagangan pada November 2005 sebanyak 70.700 ton beras.

Kunci keberhasilan swasembada pangan pada 1984 terletak pada pilihan menggelar “revolusi hijau” yang bertopang pada intensifikasi lahan-lahan pertanian untuk ditanami dengan bibit padi hibrida yang bisa dipanen sampai tiga kali setahun. Tak heran jika produksi padi melonjak secara dramatis dari hanya 18.693.649 ton pada 1970 menjadi 38.136.446 ton pada 1984.
Akan tetapi, akibatnya petani tergantung pada benih dan pupuk yang harus dibeli dengan harga tak murah. Pupuk dan pestisida juga menurunkan kualitas lingkungan yang berujung pada punahnya sejumlah spesies ular dan burung sebagai bagian ekosistem sawah yang berguna untuk memerangi tikus dan ulat. Sebenarnya ini sudah diperingatkan jauh-jauh hari, termasuk oleh penulis Rachel Carson yang mengisahkan lenyapnya kicauan burung-burung pada musim semi dalam buku The Silent Spring.

Kesalahan lainnya menyangkut pemahaman “swasembada pangan” melulu sebagai “swasembada beras”. Secara sistematis, padi menjadi anak emas Orde Baru. Segala bantuan dan penyuluhan digelontorkan bagi para petani padi, itu pun lebih banyak diberikan kepada petani yang menggunakan jenis padi hibrida, bukan jenis lokal. Akhirnya ini mengubah pola pangan masyarakat yang awalnya beragam. Jumlah masyarakat yang mengkonsumsi makanan pokok non-beras merosot drastis. Padahal, produksi makanan non-beras stabil. Kenaikan produksi singkong non-beras itu kurang berarti karena jumlah yang memakan beras sebagai makanan pokok naik dramatis (lihat infografik).

Tak heran jika terjadi kelaparan di Yahukimo, Papua, pada 2005. Ini disebabkan, salah satunya, karena monokultur beras saat masyarakat di sana secara tradisi merupakan penghasil dan pemakan ubi jalar. Pada 1997, Papua juga dilanda kelaparan yang menewaskan ratusan orang.
Monokultur beras juga menjadi bumerang bagi pemerintah yang harus menyediakan stok beras secara memadai dengan harga terjangkau, terdistribusi secara baik ke semua daerah, tak peduli paceklik atau tidak, gagal panen atau tidak. Jika harga beras naik, pemerintah mudah diserang oposisi, tapi jika harga gabah rendah atau terpaksa mengimpor pemerintah mesti siap didakwa tak memihak petani.

Belakangan, kesadaran akan pentingnya diversifikasi pangan mulai membesar. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono secara seremonial memanen ubi jalar pada Juli 2006 di Yahukimo, daerah yang belakangan menjadi ikon bencana kelaparan. Pemerintah juga punya motto yang bagus dalam mengkampanyekan diversifikasi pangan yaitu “beragam, bergizi dan seimbang”.
Itu di tingkat konsumsi, belum produksi. Konsepsi “ketahanan pangan” selama ini dianggap kurang memadai. UU No. 7/1996 tentang Pangan mendefinisikan ketahanan pangan sebagai “terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau”. Dalam rumusan itu, tidak menjadi soal siapa yang memproduksi, dari mana pangan berasal, dan bagaimana pangan disediakan. Impor tidak menjadi masalah jika dana yang dimiliki pemerintah memungkinkan.

referensi : http://nationalgeographic.co.id/feature/52/hidup-mati-bangsa-di-kemudian-

Tidak ada komentar: