Rabu, 19 Mei 2010

Tanah Haiti Kurus Kerontang


Oleh Joel K Bourne Jr.
Foto oleh Ariana Cubillos


Sebagai pengganti makanan-makanan impor yang tidak lagi terjangkau, sejumlah warga Haiti yang putus asa beralih ke kue yang terbuat dari lempung, garam, dan lemak––makanan tambahan tradisional untuk perempuan hamil.
“Te a fatige,” ujar 70 persen petani Haiti dalam sebuah survei baru-baru ini saat ditanyai tentang permasalahan utama pertanian yang mereka hadapi. “Bumi sudah lelah.”
Hal itu tidak mengherankan. Hampir selalu sejak 1492, tahun ketika Columbus menjejakkan kaki untuk pertama kalinya di Pulau Hispaniola yang tertutup hutan luas, negeri yang bergunung-bunung ini telah mengalami pengrusakan tanah pucuk dan pertumpahan darah – pertama oleh Spanyol yang menanam tebu, kemudian oleh Prancis yang menebangi hutan guna membuka lahan untuk kopi, nila, dan tembakau yang menguntungkan. Bahkan setelah budak-budak Haiti memberontak pada 1804 dan menyingkirkan jerat kolonialisme, Prancis memungut 93 juta frank sebagai uang pengganti dari negara bekas jajahannya tersebut––sebagian besar dalam bentuk kayu.
Segera setelah kemerdekaan, para spekulator dan pemilik perkebunan kelas atas memaksa kelas petani keluar dari sejumlah kecil lembah subur untuk pindah ke wilayah pedalaman yang terjal dan berhutan, tempat lahan jagung, buncis, dan singkong mereka yang menyusut berpadu dengan industri arang kayu yang berkembang sehingga memperparah penggundulan hutan dan erosi. Saat ini kurang dari 4 persen hutan Haiti yang tersisa dan di banyak tempat, tanah telah terkikis hingga ke lapisan tanah keras. Dari 1991 sampai 2002, produksi pangan per kapita secara nyata turun 30 persen. Jadi apa yang Anda lakukan jika hidup di negara termiskin di belahan barat dunia dan harga makanan pokok– “Beras Miami” dari AS-- meningkat dua kali lipat? Umumnya, Anda hanya bisa kelaparan dan menyaksikan anak-anak Anda dalam keadaan yang sama.

Namun, sebenarnya yang dipertaruhkan lebih dari sekedar kemampuan tanah Haiti untuk mengasupi sebuah negara yang kelaparan. Negara-negara pengimpor pangan di seluruh dunia juga menderita seiring dengan harga makanan pokok yang melonjak tajam, menimbulkan pertanyaan-pertanyaan kritis menyangkut tujuan dari berbagai program pendampingan pertanian yang selama beberapa dekade terakhir ini lebih berfokus pada menurunkan pajak dan menanam tanaman budidaya untuk ekspor daripada membantu negara-negara miskin untuk memenuhi kebutuhan pangannya sendiri.

Program tersebut sudah tepat, kata para pejabat. “Swasembada pangan bukanlah tujuan yang harus ada,” kata Beth Cysper, wakil direktur dari misi US Agency for International Development di Haiti. “Saat ini ada pangan di Haiti. Hanya harganya saja yang tidak terjangkau. Jika secara ekonomi masuk akal bagi warga Haiti untuk menjual mangga dan mengimpor beras, itulah yang harus mereka lakukan.”

Masalahnya, kata ahli ekologi dan aktivis Sasha Kramer, adalah bahwa saat-saat ini para petani Haiti tidak mampu menjual mangga dalam jumlah yang memadai untuk dapat mengimpor beras. Untuk mendongkrak produksi pangan, Kramer dan para koleganya mendirikan Sustainable Organic Integrated Livelihoods (SOIL), sebuah kelompok nirlaba yang membangun jamban kompos—jamban yang buangan kotoran manusianya diproses sebagai kompos—di komunitas-komunitas pedesaan untuk kembali memberikan ladang zat-zat organik dan kesuburan yang sangat dibutuhkannya. “Dengan krisis kelaparan sekarang ini, sangatlah jelas jika masyarakat Haiti memiliki lebih banyak produksi lokal, mereka tidak akan terlalu rentan terhadap harga-harga makanan impor,” kata Kramer, asisten profesor di University of Miami.

Hingga keadaan tersebut tercapai, Haiti tetap menjadi sebuah pelajaran pedih dari apa yang telah dikatakan para ilmuwan pertanahan selama bertahun-tahun: saat kesuburan tanah sebuah negara lenyap, lenyap pulalah negara tersebut.

referensi : http://nationalgeographic.co.id/feature/69/tanah-haiti-kurus-kerontang

Tidak ada komentar: