Rabu, 19 Mei 2010

Saat penentuan Kalimantan


Oleh Mel White
Foto oleh Mattias Klum

Rimba raya tengah menghilang dalam asap dan serbuk gergaji, tetapi masih ada harapan bagi keanekaragaman hayati Kalimantan yang melegenda itu—jika demam kelapa sawit dapat diredakan.
Hari itu bermula beberapa jam sebelum fajar menyingsing dengan riuh rendah bunyi ungka, jam weker khas hutan hujan. Kekasih dan seteru saling merayu dan mengancam dari puncak pepohonan dalam bahasa monyet yang kepepet, bahasa yang hanya dapat saya tebak-tebak, sebagai kerabatnya yang hidup di atas tanah.
Dari kemah saya, jalan di tepi anak sungai membentang ke dalam hutan, melalui pepohonan yang batang besarnya menjulang 30 meter hingga dahan yang terendah. Saat sinar surya samar-samar menembus tajuk hijau yang rimbun, primata yang lain, seekor monyet ekor panjang, berjalan di tanah di sepanjang aliran sungai, mencari ikan atau katak untuk sarapan. Entah berhasil atau tidak, raut mukanya yang selalu kesal tak pernah berubah. Begitu monyet itu menghilang ke hulu, sepasang cerpelai ekor pendek berlari turun ke tepi sungai, sepertinya lebih ingin bersenang-senang daripada mencari makanan.

Di suatu daerah terbuka, sepasang rangkong badak terbang dengan sayap menderu ke pohon yang berbuah dan mulai makan. Burung ini hampir sebesar kalkun, warnanya sebagian besar hitam, serta memiliki tanduk besar berwarna merah dan kuning di atas paruhnya yang berkilat terkena sinar mentari, seperti pernis mengilap. Kedua burung ini lebih cerah daripada semua hal lain di dalam rimba, sampai satu sosok sebesar telapak tangan terbang ke sana kemari setinggi pinggang, warnanya hitam beludru pekat, tetapi juga ada merah tua dan hijau elektrik, hijau neon mencolok, warna yang sama berlagaknya dengan nama makhluk ini: kupu-kupu raja Brooke. Dengan lebar hampir 18 sentimeter, satwa ini adalah salah satu kupu-kupu terbesar di dunia. Jika rangkong badak tidak memukau Anda—jika kupu-kupu raja Brooke juga tidak—mintalah seseorang memegang pergelangan dan memeriksa nadi Anda.

Kemudian saya menumpang perahu kecil menghiliri sungai lebar yang bernama Kinabatangan, lalu masuk ke arah hulu anak sungai yang sesempit gang. Sepasukan bekantan memanjat di cabang-cabang pohon di atas kepala kami, tempat primata-primata itu melewatkan malam di atas kayu-kayu tinggi di tepian sungai. Si jantan berperut buncit, dengan hidung kebesaran yang menggantung di wajahnya seperti buah matang, tampak demikian jelek sehingga menimbulkan rasa sayang, seperti pada nenek-nenek yang cerewet. Sebagian besar betina berhidung runcing dalam kelompoknya menggendong bayi di dadanya. Beberapa lutung hitam mengawasi kami dari atas, sementara seekor babi hutan berdiri tak jauh di dalam hutan mengawasi kami lewat. Saat perahu hanyut di kolong dahan yang melintasi sungai, seekor biawak sepanjang dua meter masuk ke air.

Seekor gajah kalimantan masuk ke sungai dan berenang di depan perahu, mengembuskan napas seperti seekor paus. Ukuran gajah ini kecil jika dibandingkan dengan gajah lain, tetapi saat satwa yang gelap dan berkilat ini muncul di seberang sungai, gajah kalimantan tersebut terlihat seperti pulau yang muncul dari dalam laut. Saya tahu ke mana tujuannya: sekawanan gajah yang terdiri atas sekitar 30 ekor—seekor jantan bergading panjang, betina dewasa dalam jumlah besar, dan beberapa anak beragam usia—mengunyah tanaman merambat di tepi sungai besar, dingin seperti patung dan hanya sedikit lebih hidup.

Inilah Kalimantan yang melegenda, pulau fantasi dunia, dan memang sama menakjubkannya dengan yang terdengar. Namun, jika Anda ingin melihat Kalimantan sesungguhnya, Kalimantan di dasawarsa pertama abad ke-21, cobalah menjadi elang-ular bido yang bertengger di atas pohon di seberang sungai. Lalu Anda dapat membubung tinggi di atas Sungai Kinabatangan dan melihat betapa cepat rimba yang semrawut berubah menjadi barisan pohon kelapa sawit yang ditanam rapi, membentang berkilo-kilometer ke semua jurusan.

Perkebunan sawit itu tampak rimbun dan hijau, pelepahnya yang melengkung menampilkan keindahan eksotis, tapi bagi keanekaragaman hayati Kalimantan yang tiada bandingannya, hal itu merupakan maut tanpa ampun.

Terletak di antara Laut Cina Selatan dan Laut Jawa serta dibelah dua oleh Khatulistiwa, Pulau Kalimantan telah berbakti di sepanjang sejarah manusia, terutama lewat eksploitasi sumber daya alamnya—banyak yang menganggapnya dijarah—oleh berbagai bangsa dari seluruh dunia yang silih berganti.

Pedagang Tiongkok datang mencari cula badak, kayu gaharu, serta sarang burung untuk sup. Kemudian, saudagar Muslim dan Portugis bergabung untuk mengekspor lada dan emas. Inggris dan Belanda mengendalikan pulau itu selama masa penjajahan pada abad ke-19 hingga awal abad ke-20, saat pembalak mulai menebangi hutan kayu keras tropis yang menyelimuti pulau tersebut. Pembagian Kalimantan secara politis saat ini—tiga perempat di selatan masuk Indonesia, sebagian besar sisanya masuk Malaysia, dan sebagian kecil menjadi Brunei Darussalam—mencerminkan persekutuan zaman penjajahan Inggris dan Belanda yang berakhir dengan kemerdekaan setelah Perang Dunia II.

Dalam beberapa dasawarsa terakhir, perusahaan-perusahaan dari Eropa, Amerika Serikat, dan Australia telah menggali minyak dan gas alam yang melimpah serta batubara di tambang terbuka. Banyak rumah mewah mulai dari Amsterdam hingga Melbourne, dari Singapura hingga Houston, yang dibangun dengan kekayaan dari Kalimantan. Rumah mewah yang dibangun dengan kekayaan Kalimantan juga berdiri di Jakarta dan Kuala Lumpur, karena Indonesia dan Malaysia, atau setidaknya elite ekonomi dan politiknya, adalah yang paling banyak melakukan eksploitasi di antara semuanya.

referensi : http://nationalgeographic.co.id/feature/44/saat-penentuan-kalimantan

Tidak ada komentar: